Rabu, 08 Juli 2009

VISI, MISI DAN TUJUAN PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

VISI, MISI DAN TUJUAN PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

o VISI PROGRAM STUDI :
Program studi yang unggul dalam menghasilkan lulusan bermutu, bermartabat dan dapat diterima pemangku kepentingan di bidang rekayasa sipil pada tahun 2014

o MISI PROGRAM STUDI :
1. Melaksanakan sistem manajemen mutu guna menjamin terlaksananya tridharma perguruan tinggi
2. Meningkatkan dan mengembangkan pelaksanaan tridharma perguruan tinggi yang bermutu, bermanfaat dan berkelanjutan.
3. Menerapkan dan mengembangkan IPTEK, kemampuan berwirausaha, keahlian dan etika profesional dibidang rekayasa sipil, serta memiliki etika cendekiawan dan berwawasan lingkungan sebagai ciri khas lulusan untuk memenuhi kepuasan pemangku kepentingan.

o TUJUAN PROGRAM STUDI :
a) Menjadikan program studi yang unggul dan sebagai pusat rujukan pemangku kepentingan dalam bidang rekayasa sipil
b) Menghasilkan lulusan yang :
1. Bermutu dan bermartabat
2. Mampu menerapkan dan ahli pengetahuan di bidang rekayasa sipil
3. Mampu merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan pekerjaan sipil dengan pemanfaatan teknologi informasi yang berwawasan lingkungan
4. Mampu meningkatkan dan mengembangkan diri dalam pendidikan yang berkelanjutan dengan prinsip belajar seumur hidup
5. Mampu bekerja sama, membangun komunikasi dan jejaring tingkat nasional maupun internasional
6. Memiliki etika kecendikiawaan, kemampuan berwirausaha dan berwawasan lingkungan yang memenuhi kepuasaan pemangku kepentingan.
c) Berperan serta dalam pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Visi, Misi dan Tujuan Fakultas Teknik

VISI, MISI dan TUJUAN FAKULTAS TEKNIK 2014

o VISI FAKULTAS TEKNIK :
Sebagai fakultas yang bermutu dan bermartabat dalam pelaksanaan tridharma perguruan tinggi untuk mencapai kepuasan pemangku kepentingan.

o MISI FAKULTAS TEKNIK :
1. Melaksanakan sistem manajemen muru sebagai landasan tata kelola dalam penguatan manajemen guna menjamin terlaksananya tridharma perguruan yang bermutu
2. Melaksanakan komitmen sebagai pelayan mutu untuk mencapai standar mutu yang ditetapkan dan diisyaratkan oleh pemangku kepentingan dalam setiap kegiatan tridharma perguruan tinggi
3. Mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu dan bermatabat
4. Menerapkan dan mengembangkan IPTEK, kemampuan berwirausaha, keahlian dan etika profesional, etika kecendekiawaan dan berwawasan lingkungan sebagai produk unggulan melalui kegiatan tridharma perguruan tinggi
5. Meningkatkan dan mengembangkan pelaksanaan tridharma perguruan tinggi yang bermutu, bermartabat dan berkelanjutan

o TUJUAN FAKULTAS TEKNIK :
1. Meningkatan kepercayaan dan pengakuan pemangku kepentingan terhadap fakultas
2. Meningkatan mutu dan kemampuan sumber daya manusia untuk berperan serta dalam pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat
3. Menghasilkan lulusan yang bermutu dan bermartabat yang diterima pemangku kepentingan dan mempunyai tanggung jawab sosial serta berkarya sebagai cendekiawan teknik
4. Menghasilkan karya IPTEK yang bermutu melalui penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

Quiz Profesional nilai 16 juni 2009

QUIZ

Professional skill

OLEH :

Mochamad Afan Rifa'i
05110055

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN TEKNIK SIPIL

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2009

Kata pengantar

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat TUHAN YME, karena hanya dengan Rahmad-Nya saya dapat menyelesaikan tugas ini, untuk memenuhi salah satu syarat Akademik. Dimana dalam pengerjaan tugas ini kurang dari sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan dan perlu disempurnakan pada nantinya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi rekan – rekan mahasiswa fakultas teknik.

Terima kasih…..

16 Juni 2009

( Penulis )

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………….. 1

PEMBAHASAN

BAB I : ISO 9000……………………………………………………………………………… 2

BAB II : Perusahaan Jasa Konstruksi…………………………………………………….. 5

BAB III : Kebijakan Mutu dan Dokumen mutu perusahaan………………………. 9

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………………….. 14

PENDAHULUAN

Berbicara tentang mutu khususnya dalam dunia konstruksi diperlukan adanya persamaan pengertian antara penyedia jasa konstruksi dengan pengguna jasa sehingga tidak terjadi perbedaan pemahaman yang pada akhirnya akan menimbulkan perselisihan antara kedua belah pihak. Untuk mencapai persamaan pengertian mengenai mutu produk dan pelayanan itu, kita telah mengenal berbagai standar yang mengatur spesifikasi dari produk dan jasa yang dihasilkan suatu perusahaan.

Beberapa standar yang terkenal dari negara-negara maju, antara lain DIN (Jerman), JIS (Jepang), BSI (Inggris) dan ANSI (Amerika). Kita di Indonesia memiliki standar yang disebut SNI (Standar Nasional Indonesia).

Sekalipun standar produk yang ada sudah cukup maju dan menjamin produk yang dibeli oleh pelanggan akhir, masih diperlukan pemastian yang sifatnya berkesinambungan. Perusahaan yang berhubungan dengan pengguna membutuhkan pemastian bahwa penyedia jasa dapat memberikan hasil dan jasa yang mutunya terjaga setiap saat. Jadi, bukan hanya bermutu pada saat pelaksanaan. Apabila hal ini tidak diperhatikan, akan terjadi kerugian baik berupa waktu, biaya maupun kepercayaan dari pengguna jasa. Di sinilah letak pentingnya ISO 9000

Berbeda dengan standar mutu yang kita kenal sebelumnya, ISO 9000 tidak mengatur mutu produk melainkan merupakan standar tentang sistem manajemen yang mengelola proses pencapaian mutu tersebut. Dengan berkembangnya pasaran bersama Eropa, muncul usaha untuk mengharmonisasi standar dari negara-negara di Eropa. Khusus untuk standar sistem manajemen mutu, di Eropa diharmonisasikan melalui EN 29000.

BAB I

ISO 9000

ISO 9000 adalah standar mengenai sistem manajemen mutu yang dikeluarkan pertama kali pada tahun 1987 oleh International Organization for Standardization (ISO) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss. Sejak pertama kali terbit sampai sekarang, standar ini telah mengalami dua kali perubahan, yaitu pertama pada tahun 1994 dan kedua pada tahun 2000.

ISO 9000 series yang termasuk di dalamnya adalah ISO 9001, 9002, 9003 dan 9004. Standard ini kemudian direvisi pada tahun 1994 dan setelah 6 tahun direvisi kembali menjadi IS0 9001 versi 2000 ISO 9001:2000 adalah Standard Sistem Manajemen Mutu yang telah mendapat pengakuan dari banyak negara di dunia seperti: semua negara Uni Eropa, Amerika, Jepang , Australia , ASEAN, dan di lebih 100 negara

PERKEMBANGAN ISO

Seri-seri yang terdapat dalam ISO 9000 Versi 2000 terdiri dari :

ISO 9000:2000, berisi dasar dan kosa kata sistem manajemen mutu.

ISO 9001:2000, berisi persyaratan-persyaratan sistem manajemen mutu.

ISO 9004:2000, berisi pedoman untuk peningkatan sistem manajemen mutu.

ISO 19011:2000, berisi pedoman audit sistem manajemen mutu dan lingkungan.

Sedangkan ISO 10005:1995, berisi pedoman untuk rencana mutu; ISO 10006:1997 berisi pedoman mutu dalam manajemen proyek; ISO 10007:1995 berisi pedoman untuk susunan manajemen; ISO/DIS 10012 berisi persyaratan jaminan mutu untuk pengukuran peralatan; ISO 10013:1995, berisi pedoman untuk mengembangkan manual mutu; ISO 10014:1998, berisi pedoman untuk pengelolaan ekonomi mutu, dan ISO 10015:1999 membahas tentang pedoman pelatihan.

Kalau kita amati perkembangan ISO 9000 dan standar lainnya di dunia, kita akan menjumpai bahwa standar-standar tersebut cenderung muncul sebagai akibat dari tuntutan kebutuhan. Sampai saat ini belum ada satupun negara yang secara hukum mengharuskan penerapan ISO 9000. Indonesia juga tidak mengharuskan secara hukum penerapan standar ISO 9000 ini.

Orang tidak diwajibkan untuk menggunakannya. Barangkali karena tidak adanya kewajiban hukum dalam penggunaannya ini, perkembangan standar ISO 9000 dalam penggunaannya kurang meluas ke bidang-bidang lain selain di dunia usaha.

Standar ini lebih laris ”manis” bagi perusahaan-perusahaan BUMN ketimbang perusahaan-perusahaan swasta. Apalagi untuk organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga sosial, tapi tidak menutup kemungkinan, di masa datang ada negara, mudah-mudahan termasuk Indonesia, yang mengharuskan penerapan ISO 9000 untuk produk tertentu menyangkut masalah keselamatan, kesehatan dan lingkungan hidup.

MANFAAT PENERAPAN ISO 9000

Ä Menghadapi era perdagangan bebas (AFTA) 2003, perusahaan sebaiknya sudah menerapkan System Manajemen Mutu agar membantu perusahaan dalam meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui penyediaan jaminan mutu yang lebih baik

Ä Nilai kompetisi dan image perusahaan semakin meningkat dengan sertifikasi ISO 9001:2000.

Ä Penerapan ISO 9001:2000 akan meningkatkan produktivitas, efisiensi, efektifitas operasional dan mengurangi biaya yang ditimbulkan barang cacat (reject) atau barang bermutu rendah dan limbah

Ä Membuat sistem kerja dalam suatu perusahaan menjadi standar kerja yang terdokumentasi dan mempunyai aturan kerja yang baik sehingga memudahkan dalam pengendalian.

Ä Dapat berfungsi sebagai standar kerja untuk melatih karyawan yang baru

Ä Menjamin bahwa proses yang dilaksanakan sesuai dengan sistem manajemen mutu yang ditetapkan

Ä Akan memudahkan Top Management dalam pencapaian target karena sudah dipersiapkannya target yang terukur dan rencana pencapaiannya.

Ä Meningkatkan semangat dan moral karyawan karena adanya adanya kejelasan tugas dan wewenang (Job Description) dan hubungan antar bagian yang terkait sehingga karyawan dapat bekerja dengan efisien dan efektif

Ä Dapat mengarahkan karyawan agar berwawasan Mutu dalam memenuhi permintaan pelanggan, baik internal maupun eksternal.

BAB II

ISO 9000 dan PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI

DUNIA KONSTRUKSI DI INDONESIA

Sebagai awal yang menandai pelaksanaan penyelenggaraan Konstruksi Indonesia pada tahun 2005 ini, pada hari Rabu (26/10) telah digelar acara Launching Konstruksi Indonesia 2005 yang bertempat di Departemen PU. Dalam acara tersebut, Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto memberikan sambutannya yang diwakilkan oleh Inspektur Jenderal Departemen PU Wibisono Setiowibowo. Beliau mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan momentum baik bagi peran industri dan jasa konstruksi menuju peningkatan kompetensi dalam menghadapi era globalisasi.

Pada kesempatan tersebut juga dikatakan bahwa para pelaku jasa dan industri konstruksi perlu selalu meningkatkan kompetensi dan profesionalisme agar mampu berkarya secara efisien dan produktif dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan tersedianya infrastruktur publik yang berkualitas dan berwawasan lingkungan. Selain itu, pelaku jasa dan industri konstruksi dituntut kesiapannya menghadapi liberalisasi perdagangan barang/jasa agar mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Untuk itu penerapan sistem manajemen mutu yang berstandar internasional yakni ISO 9001:2000 yang diadopsi SNI 19-9001:2001 menjadi suatu keharusan bagi perusahaan konstruksi.

PENERAPAN ISO 9001:2000 DALAM DUNIA KONSTRUKSI DI INDONEIA

Dengan menerapkan ISO tersebut diharapkan dunia jasa konstruksi nasional akan dengan mudah berkancah di pasar global di sektor jasa konstruksi, walaupun masih diakui bahwa pemerintah masih menghadapi masalah dan tantangan dalam mengembangkan sektor ini seperti tingginya tingkat suku bunga bank yang saat ini mencapai 14-15%.

Menteri PU menilai, kondisi seperti itu yang menjadikan pelaku jasa konstruksi nasional sulit bersaing dengan kontraktor asing untuk mendapatkan proyek dalam negeri sendiri. Dikatakan, prediksi dari Bappenas menyebutkan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 5-6% dibutuhkan investasi di bidang infrastruktur sekitar Rp 700 triliun. Padahal, kontraktor nasional sebagian besar masih memburu proyek pemerintah yang porsinya hanya 40%. Untuk memburu sisa proyek (60%) diperlukan persaingan super ketat dengan kontraktor asing di dalam negeri. Dengan kenyataan bahwa komposisi penyedia jasa konstruksi nasional 80% nya adalah perusahaan golongan kecil yang tidak memiliki tenaga ahli kompeten, maka diperlukan kesiapan masyarakat penyedia jasa konstruksi untuk menjadi profesional dan peningkatan kompetensi tenaga ahli dan tenaga terampil. Menteri PU juga mengakui untuk menghadapi persaingan regional dan global, kontraktor kita sangat membutuhkan dukungan perbankan, asuransi dan peran arbitrase yang bisa menjamin kelancaran penyelenggaraan konstruksi. Sehingga kita dapat mengikuti jejak Singapura, Malaysia dan Piliphina yang telah meraih pangsa proyek konstruksi di luar negeri.Pada acara launching Konstruksi Indonesia 2005 ini juga, Kepala BPKSDM, Iwan Nursyirwan mengatakan bahwa dalam pameran nanti akan ditampilkan teknologi baru, teknologi konstruksi tepat guna, dan peluang investasi di bidang konstruksi yang diikuti Departemen PU bersama departemen lainnya, BUMN Karya, Asosiasi Badan Usaha, Asosiasi Profesi, kontraktor swasta dan pemasok lokal serta asing. Sedangkan pada acara dialog, diharapkan dapat mempertemukan industri konstruksi, pemerintah serta pihak terkait lainnya dalam mencari solusi atas masalah yang dialami dunia konstruksi untuk disampaikan kepada para penentu kebijakan.

Lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan pelaksanaan Konstruksi Indonesia 2005 adalah menandai tumbuhnya kegiatan konstruksi di Indonesia sekaligus pendorong pertumbuhan ekonomi di tanah air, mendorong upaya peningkatan kompetensi dan profesionalisme pelaku konstruksi nasional serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pelaku konstruksi nasional dalam menghasilkan produk-produk konstruksi.

Melalui kegiatan Konstruksi Indonesia 2005 ini telah diberikan penghargaan terhadap tokoh konstruksi nasional, yaitu Ir. Sutami (mantan Menteri PU), Frederic Silaban dan Wiryatman Wangsawinata. Karya Jurnalistik dimenangkan oleh Harian Kompas, Bisnis Indonesia dan Investor Dailly. Sedangkan Pemenang Foto Konstruksi diraih oleh Shandi Irawan, Muhammad Ali dan Sofyan Effendi untuk kategori Foto Hitam Putih. Sedang untuk Kategori bebas dimenangkan oleh Aziz Indra, Arie Basuki, Suhartono, sementara Juara Favorit diraih oleh Jurnasyanto. Penghargaan Karya Konstruksi tersebut dianugrahkan kepada tokoh konstruksi yang mampu menghasilkan karya rancang bangun yang handal, inovatif dan memberikan inspirasi pada bangunan konstruksi lain, disamping tidak berdampak negatif pada lingkungan serta bermanfaat bagi masyarakat.

Sutami merupakan seorang pelopor penerapan beton pracetak dalam pembangunan jembatan Semanggi dan pelopor penggunaan metoda perhitungan konstruksi beton, berintegritas dan berdedikasi tinggi dalam menggeluti ilmu pengembangan wilayah, dan juga sebagai pelopor penggunaan metoda inkonvensional dalam karya-karya monumentalnya.

Silaban, arsitek yang dipercaya membangun Masjid Istiqlal yang amat monumental dan sudah menjadi salah satu landmark Indonesia. Hasil karya dan buah pemikiran Silaban berupa kubah Masjid Istiqlal bahkan telah diakui Universitas Darmstad, Jerman Barat sebagai hak cipta Silaban, sehingga disebut sebagai Silaban Dome atau Kubah Silaban.

Wiratman Wangsadinata merupakan insan konstruksi yang sangat konsisten dan serius dalam perkembangan konstruksi di tanah air. Salah satu pekerjaan penting yang ditanganinya adalah Jalan tol Jagorawi yang merupakan jalan tol pertama di Indonesia. Selain itu, beliau juga banyak berkiprah dalam pembangunan waduk di seluruh pelosok tanah air sejak tahun 1960, diantaranya waduk Sempor. Disamping pemberian penghargaan tersebut diatas, Departemen Pekerjaan Umum juga menyelenggarakan Penilaian terhadap Kinerja Pemerintah Daerah dalam melaksanakan sebagian urusan wajibnya, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, khususnya di bidang pekerjaan umum. Hasil penilaian tim juri yang melibatkan unsur pemerintah pusat, perguruan tinggi, organisasi profesi, serta organisasi kemasyarakatan telah menetapkan 12 pemenang untuk 12 kategori. Penyerahan award ini diberikan oleh Menteri Pekerjaan Umum kepada para pemenang pada saat acara Malam Konstruksi Indonesia 2005 & Penghargaan Pekerjaan Umum yang disiarkan secara live oleh Metro TV Sabtu (3/12)

BAB III

KEBIJAKAN MUTU dan DOKUMEN MUTU PERUSAHAAN

Kebijakan mutu dan dokumen mutu pada perusahaan PLN

ISI PROSEDUR

1. TUJUAN

Memberikan tuntunan kepada manajemen untuk melaksanakan secara berkala evaluasi mutu,

kecukupan, kecocokan dan keefektifannya secara berkesinambungan dalam hubungannya

dengan kebijakan mutu dan sasaran mutu perusahaan.

2. RUANG LINGKUP

Prosedur ini berlaku untuk peninjauan sistem mutu yang dilaksanakan oleh manajemen PT

PLN (Persero) P3B Jawa Bali Bidang Operasi Sistem.

3. REFERENSI

3.1. SNI ISO 19-9000:2001-Dasar-dasar Kosakata

3.2. SNI 19-9001:2001-Sistem Manajemen Mutu – Persyaratan

3.3. Pedoman Mutu BOPS No. BOPS/PDM/02-001

4. DEFINISI DAN ISTILAH

4.1. Tinjauan Manajemen

Evaluasi formal yang dilakukan oleh Manajer Bidang Operasi Sistem terhadap status dan

kecukupan dari sistem mutu dalam kaitannya dengan kebijakan mutu dan sasaran mutu.

4.2. Kebijakan Mutu

Keseluruhan maksud dan tujuan organisasi yang berkaitan dengan mutu yang secara

formal dinyatakan oleh Manajer Bidang Operasi Sistem.

4.3. Sistem Mutu

Merupakan stuktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya yang diperlukan untuk

menerapkan manajemen mutu.

5. INFOMASI UMUM

5.1. Wakil Manajemen Mutu menyiapkan materi dan menyusun risalah Rapat Tinjauan

Manajemen serta memantau tindak lanjut hasil kajiulang manajemen.

5.2. Manajer Bidang Operasi Sistem memimpin Rapat Tinjauan Manajemen, mengambil

keputusan untuk melakukan tindakan korektif atau perubahan kebijaksanaan sehubungan

dengan sasaran mutu yang telah dicapai, pengembangan usaha, pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan pengembangan yang bersifat sosial termasuk tata tertib.

6. URAIAN / RINCIAN PROSEDUR DAN TANGGUNG JAWAB

6.1. Identifikasi Kebutuhan Pertemuan

6.1.1. Mengidentifkasi kebutuhan pertemuan tinjauan manajemen dan susun jadwal

pertemuan.

Pertemuan tinjauan manajemen dapat dilakukan secara berkala atau secara

insidentil.

6.1.2. Pertemuan secara berkala dilaksanakan minimal 2 kali dalam setahun.

6.1.3. Pertemuan insidentil dilaksanakan jika ada :

a. Hal yang berdampak luas terutama pada eksternal perusahaan, dilaksanakan

koordinasi dengan pelanggan

b. Masalah yang sama terjadi berulang, lebih dari 3 kali

c. Hal yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan pemerintah, pelanggan

dan perusahaan

d. Dipandang perlu karena mendesak untuk dicari penyelesaiannya.

6.2. Mempersiapkan Pelaksanaan Pertemuan

6.2.1. Menentukan dan menyusun bahan-bahan yang akan dijadikan agenda pada suatu

pertemuan.

6.2.2. Menentukan yang akan diundang pada pertemuan. Peserta pertemuan adalah

peserta tetap dan peserta tambahan. Peserta tetap terdiri dari Manajer Bidang

Operasi Sistem, Deputi Manajer dan Wakil Manajemen Mutu. Sedangkan peserta

tambahan adalah karyawan yang terkait dengan bahan yang akan dibahas.

6.2.3. Mengundang peserta rapat untuk menghadiri pertemuan sesuai butir 6.2.2. di atas.

6.2.4. Undangan harus disampaikan 2-5 hari sebelum pertemuan tinjauan manajemen

dilaksanakan.

6.3. Mempersiapkan Agenda Pertemuan

Menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan sesuai dengan materi yang akan dibahas pada

agenda rapat. Penanggung jawabnya adalah pejabat yang terkait dengan bahan yang akan

dibahas dan dapat mencakup :

6.3.1. Laporan unjuk kerja sistem mutu untuk ditinjau dan sebagai dasar

penyempurnaan sistem mutu.

6.3.2. Hasil Laporan Audit Mutu Internal

6.3.3. Hasil Laporan Audit Mutu Eksternal

6.3.4. Hasil Tindakan Koreksi dan Pencegahan.

6.3.5. Tinjauan Tentang Efektivitas Pelaksanaan Sistem Mutu

6.3.6. Risalah Pertemuan Sebelumnya

6.3.7. Pencapaian Sasaran Mutu

6.3.8. Tinjauan tentang Efektivitas Metode yang digunakan untuk penyebar luasan

kebijakan mutu agar diketahui dan dipahami seluruh karyawan

6.3.9. Laporan Keluhan Pelanggan

6.3.10. Laporan Produk Yang Tidak Sesuai

6.3.11. Kinerja Pemasok

6.3.12. Kebutuhan Pelatihan

6.3.13. Saran-saran dari intern maupun pihak luar unit kerja termasuk adanya metode

atau teknologi baru atau perbaikannya yang akan digunakan oleh perusahaan.

6.3.14. Tinjauan perubahan kinerja

6.3.15. Tinjauan perubahan strategi perusahaan, struktur atau rencana bisnis menyeluruh

6.3.16. Tinjauan ‘Job Description’ sesuai dengan prosedur kerja yang berlaku

6.4. Pelaksanaan Pertemuan Tinjauan Manajemen

6.4.1. Pertemuan tinjauan manajemen dilaksanakan dan dianggap sah jika dihadiri oleh

sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari yang diundang.

6.4.2. Jika peserta sudah lengkap, edarkan Daftar Hadir dengan menggunakan formulir

BOPS/FML/02-029.

6.4.3. Pertemuan tinjauan manajemen dibuka dan dipimpin oleh Manajer Bidang Operasi

Sistem.

6.4.4. Memastikan bahwa pertemuan membahas bahan-bahan yang telah dipersiapkan

sesuai dengan agenda.

6.4.5. Pengambilan keputusan pada pertemuan tinjauan manajemen diusahakan secara

aklamasi.

Jika tidak memungkinkan, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

6.4.5. Menutup pertemuan dan menentukan jadwal pertemuan berikutnya.

6.4.7. Membacakan seluruh hasil/keputusan rapat beserta penanggung jawab dan tanggal

penyelesaian tindak lanjutnya

6.5. Mendokumentasikan Hasil Pertemuan

6.5.1. Menyusun risalah pertemuan dengan menggunakan formulir Risalah Rapat

Tinjauan Manajemen BOPS/FML/02-030.

6.5.2. Mendistribusikan risalah pertemuan kepada seluruh peserta dan pihak terkait

lainnya (jika ada), paling lama 3 (tiga) hari setelah pertemuan.

6.5.3. Menyimpan dan memelihara seluruh risalah pertemuan tinjauan manajemen yang

asli.

6.6. Pemantauan Hasil Rapat Tinjauan Manjemen

Memantau tindak lanjut hasil rapat tinjauan manajemen dan dilaporkan kepada

Manajer Bidang Operasi Sistem sesuai tingkat kemajuan/penyelesaian

kegiatannya.

7. KEADAAN KHUSUS

Tidak ada

8. DOKUMENTASI

Prosedur ini didokumentasikan dalam bentuk hard Salinan (kertas) dan file:

BOPS_PSM_02_007.pdf dan BOPS_PSM_02_007.doc, serta pengendaliannya diatur dalam

prosedur pengendalian dokumen

9. DOKUMEN TERKAIT

No. Nomor Dokumen Judul

  1. BOPS/PDM/02-001 Pedoman Mutu
  2. BOPS/PSM/02-001 Prosedur Pengendalian Dokumen
  3. BOPS/PSM/02-002 Prosedur pengendalian rekaman mutu
  4. BOPS/PSM/02-003 Prosedur Audit Mutu Internal
  5. BOPS/PSM/02-004 Prosedur Pengendalian Produk Tidak Sesuai
  6. BOPS/PSM/02-005 Prosedur Tindakan Korektif
  7. BOPS PSM/02-006 Prosedur Tindakan Pencegahan

10. DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Formulir Daftar Hadir

Lampiran 2 : Formulir Risalah Rapat

Daftar Pustaka

  1. www.PLN.co.id
  2. Google.com/iso/9000

SOP

TANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) DAN AKUNTABILITAS
KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
(Tjipto Atmoko)

Abstrak

Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan
tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah
berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata
kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP
adalah menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit kerja
instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance.

Standar operasional prosedur tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal,
karena SOP selain digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik yang berkaitan
dengan ketepatan program dan waktu, juga digunakan untuk menilai kinerja organisasi
publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah. Hasil kajian menunjukkan tidak semua satuan unit kerja instansi
pemerintah memiliki SOP, karena itu seharusnyalah setiap satuan unit kerja pelayanan
publik instansi pemerintah memiliki standar operasional prosedur sebagai acuan dalam
bertindak, agar akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dievaluasi dan terukur.

I. Pendahuluan
Pelayanan publik yang diberikan instansi Pemerintah (Pusat, Pemerintah
Propinsi, Kabupaten, Kota dan Kecamatan) kepada masyarakat merupakan perwujudan
fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Pada era otonomi daerah, fungsi
pelayanan publik menjadi salah satu fokus perhatian dalam peningkatan kinerja instansi
pemerintah daerah. Oleh karenanya secara otomatis berbagai fasilitas pelayanan publik
harus lebih didekatkan pada masyarakat, sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat.

Pemerintah Pusat mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan kinerja
instansi pemerintah dan kualitas pelayanan publik, antara lain kebijakan tentang
Penyusunan Sistem dan Prosedur Kegiatan, Penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (Inpres No. 7 Tahun 1999), dan Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah (SK Menpan No.
KEP/25/M.PAN/2/2004). Langkah ini sebenarnya bukanlah hal baru, karena sebelumnya
kebijakan serupa telah dikeluarkan pemerintah dalam bentuk Keputusan Menpan maupun
Instruksi Presiden (Inpres).

Kebijakan itu ternyata tidak secara otomatis menyelesaikan permasalahan
pelayanan publik oleh instansi pemerintah yang selama ini bercitra buruk, berbelit-belit,
lamban, dan berbiaya mahal. Hal tersebut berkaitan dengan persoalan seberapa jauh
berbagai peraturan pemerintah tersebut disosialisasikan di kalangan aparatur pemerintah
dan masyarakat, serta bagaimana infrastruktur pemerintahan, dana, sarana, teknologi,
kompetensi sumberdaya manusia (SDM), budaya kerja organisasi disiapkan untuk
menopang pelaksanaan berbagai peraturan tersebut, sehingga kinerja pelayanan publik
menjadi terukur dan dapat dievaluasi keberhasilannya.

Selain kebijakan pemerintah, upaya mewujudkan kinerja pelayanan publik di
lingkungan unit kerja pemerintahan yang terukur dan dapat dievaluasi keberhasilannya,
pemerintah daerah perlu memiliki dan menerapkan Prosedur Kerja yang standar (Standar
Operasional Prosedur / SOP). Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan
untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja
instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural
sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang
bersangkutan. Tujuan SOP adalah menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan
oleh satuan unit kerja instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance.

Standar operasional prosedur tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal,
karena SOP selain dapat digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, juga
dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi publik di mata masyarakat berupa
responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dengan
demikian SOP merupakan pedoman atau acuan untuk menilai pelaksanaan kinerja
instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan prosedural
sesuai dengan tata hubungan kerja dalam organisasi yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini berkaitan
dengan penilaian kinerja organisasi publik, Standar operasional prosedur (SOP) dan
langkah langkah menyusun SOP, serta peningkatkan akuntabilitas pelayanan publik
melalui penerapan SOP. Uraian berikut ini diharapkan dapat menciptakan komitment
pemerintah daerah mengenai pentingnya penerapan SOP oleh setiap satuan unit kerja
instansi pemerintahan dalam mewujudkan akuntabilitas pelayanan publik.

II. Penilaian Kinerja Organisasi Publik
Organisasi adalah jaringan tata kerja sama kelompok orang-orang secara teratur
dan kontinue untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan dan didalamnya
terdapat tata cara bekerjasama dan hubungan antara atasan dan bawahan. Organisasi tidak
hanya sekedar wadah tetapi juga terdapat pembagian kewenangan, siapa mengatur apa
dan kepada siapa harus bertanggung jawab (Gibson; 1996 :6). Organisasi dapat dilihat
dari dua sudut pandang yaitu pandangan obyektif dan pandangan subyektif. Dari sudut
pandang obyektif, organisasi berarti struktur, sedangkan berdasarkan pada pandangan
subyektif, organisasi berarti proses (Wayne Pace dan Faules, dalam Gibson, 1997 : 16).
Kaum obyektivis menekankan pada struktur, perencanaan, kontrol, dan tujuan serta
menempatkan faktor-faktor utama ini dalam suatu skema adaptasi organisasi, sedangkan
kaum subyektivis mendefinisikan organisasi sebagai perilaku pengorganisasian
(organizing behaviour).

Organisasi sebagai sistem sosial, mempunyai tujuan-tujuan kolektif tertentu yang
ingin dicapai (Muhadjir Darwin; 1994). Ciri pokok lainnya adalah adanya hubungan antar
pribadi yang terstruktur ke dalam pola hubungan yang jelas dengan pembagian fungsi
yang jelas, sehingga membentuk suatu sistem administrasi. Hubungan yang terstruktur
tersebut bersifat otoritatif, dalam arti bahwa masing-masing yang terlibat dalam pola
hubungan tersebut terikat pada pembagian kewenangan formal dengan aturan yang jelas.
Fremont Kast dan James Rosenzweig (2000) mengatakan bahwa organisasi merupakan
suatu subsistem dari lingkungan yang lebih luas dan berorientasi tujuan (orang-orang
dengan tujuan), termasuk subsistem teknik (orang-orang memahami pengetahuan, teknik,
peralatan dan fasilitas), subsistem struktural (orang-orang bekerja bersama pada aktivitas
yang bersatu padu), subsistem jiwa sosial (orang-orang dalam hubungan sosial), dan
dikoordinasikan oleh subsistem manajemen (perencanaan dan pengontrolan semua
kegiatan).

Kinerja atau juga disebut performance dapat didefinisikan sebagai pencapaian
hasil atau the degree of accomplishment. Sementara itu, Atmosudirdjo (1997)
mengatakan bahwa kinerja juga dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan
sesuatu. Faustino (1995) memberi batasan kinerja sebagai suatu cara mengukur
kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota organisasi kepada organisasinya.

Peter Jennergen (1993) mendefinisikan kinerja organisasi adalah tingkat yang
menunjukkan seberapa jauh pelaksanaan tugas dapat dijalankan secara aktual dan misi
organisasi tercapai. Selanjutnya Pamungkas (2000) menjelaskan bahwa kinerja adalah
penampilan cara-cara untuk menghasilkan suatu hasil yang diperoleh dengan aktivitas
yang dicapai dengan suatu unjuk kerja. Dengan demikian, kinerja adalah konsep utama
organisasi yang menunjukkan seberapa jauh tingkat kemampuan pelaksanaan tugas-tugas
organisasi dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan.

Penilaian terhadap kinerja dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan suatu
organisasi dalam kurun waktu tertentu. Penilaian tersebut dapat juga dijadikan input bagi
perbaikan atau peningkatan kinerja organisasi selanjutnya. Dalam institusi pemerintah
khususnya, penilaian kinerja sangat berguna untuk menilai kuantitas, kualitas, dan
efisiensi pelayanan, memotivasi para birokrat pelaksana, melakukan penyesuaian
anggaran, mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang
dilayani dan menuntun perbaikan dalam pelayanan publik.

Berbeda dengan organisasi privat, pengukuran kinerja organisasi publik sulit
dilakukan karena belum menemukan alat ukur kinerja yang sesuai. Kesulitan dalam
pengukuran kinerja organisasi publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi
publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi juga bersifat multidimensional.
Organisasi publik memiliki stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks
ketimbang organisasi privat. Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki
kepentingan yang berbenturan satu sama lain. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi
publik di mata para stakeholders juga berbeda-beda. Para pejabat birokrasi, misalnya,
seringkali menempatkan pencapaian target sebagai ukuran kinerja sementara masyarakat
pengguna jasa lebih suka menggunakan kualitas pelayanan sebagai ukuran kinerja.

Lenvine (1996) mengemukakan tiga konsep yang dapat digunakan untuk
mengukur kinerja organisasi publik, yakni :

1.
Responsivitas (responsiveness) : menggambarkan kemampuan organisasi publik
dalam menjalankan misi dan tujuannya terutama untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Penilaian responsivitas bersumber pada data organisasi dan masyarakat,
data organisasi dipakai untuk mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan dan program

organisasi, sedangkan data masyarakat pengguna jasa diperlukan untuk
mengidentifikasi demand dan kebutuhan masyarakat.

2.
Responsibilitas (responsibility): pelaksanaan kegiatan organisasi publik dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan
organisasi baik yang implisit atau eksplisit. Responsibilitas dapat dinilai dari analisis
terhadap dokumen dan laporan kegiatan organisasi. Penilaian dilakukan dengan
mencocokan pelaksanaan kegiatan dan program organisasi dengan prosedur
administrasi dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam organisasi.
3.
Akuntabilitas (accountability): menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Data
akuntabilitas dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti penilaian dari wakil
rakyat, para pejabat politis, dan oleh masyarakat.
Weisbord (1993) mengemukakan 6 indikator pengukuran kinerja organisasi
publik, yang meliputi tujuan, struktur, reward, mekanisme tata kerja, tata hubungan dan
kepemimpinan.

Tujuan berkaitan dengan arah yang hendak ditempuh organisasi, karena itu tujuan
organisasi harus direncanakan sebaik mungkin dengan melibatkan anggota organisasi,
mulai dari perumusan sampai pada pelaksanaan atau upaya pencapaiannya. Struktur
berkaitan dengan hubungan-hubungan logis antara berbagai fungsi dalam organisasi
termasuk juga semua kegiatan pembagian kerja ke dalam satuan-satuannya dan
koordinasi satuan-satuan tersebut. Struktur organisasi merupakan suatu kerangka yang
mewujudkan pola tetap dari hubungan-hubungan di antara bidang-bidang kerja maupun
orang-orang yang menunjukkan kedudukan, wewenang, dan tanggung jawab masingmasing
dalam suatu sistem kerjasama.

Mekanisme tata kerja adalah sesuatu yang terdiri atas bagian-bagian yang saling
berhubungan dan membentuk satuan tersebut. Mekanisme dapat mengacu pada barang,
aturan, organisasi, perilaku dan sebagainya. Mekanisme tata kerja akan sangat
bermanfaat bagi organisasi dalam hal membantu dalam koordinasi dan integrasi kerja,
dan membantu memonitor kerja organisasi, sehingga dapat diketahui apakah suatu
kegiatan dapat berjalan baik atau buruk. Unsur-unsur penting dalam mekanisme tata kerja
meliputi; prosedur kebijakan, agenda, pertemuan formal, aktivitas dan tersedianya sarana

atau alat yang mungkin ditemukan untuk membantu orang-orang untuk bekerja sama; dan
penemuan, kreativitas pegawai secara spontan untuk memecahkan permasalahan dalam
bekerja.

Penilaian kinerja aparatur pemerintah dapat dilakukan secara eksternal yaitu melalui
respon kepuasan masyarakat. Pemerintah menyusun alat ukur untuk mengukur kinerja
pelayanan publik secara eksternal melalui Keputusan Menpan No.
25/KEP/M.PAN/2/2004. Berdasarkan Keputusan Menpan No. 25/KEP/M.PAN/2/2004
tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan
Instansi Pemerintah, terdapat 14 indikator kriteria pengukuran kinerja organisasi sebagai
berikut:

1.
Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2.
Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan
untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3.
Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang
memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung
jawabnya).
4.
Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan, terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang
berlaku.
5.
Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung
jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6.
Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang
dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada
masyarakat.
7.
Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
8.
Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.

9.
Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling
menghargai dan menghormati.
10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya
biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan
biaya yang telah ditetapkan.
12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
13. Kenyamanan
lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang
bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada
penerima pelayanan.
14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyarakat
merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang
diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Berdasarkan pada uraian di atas, pengukuran kinerja organisasi publik dapat
dilakukan secara internal maupun eksternal. Penilaian secara internal adalah mengetahui
apakah proses pencapaian tujuan sudah sesuai dengan rencana bila dilihat dari proses dan
waktu, sedangkan penilaian ke luar (eksternal) dilakukan dengan mengukur kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan organisasi.

III. Standar Operasional Prosedur
Paradigma governance membawa pergeseran dalam pola hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip-prinsip
corporate governance. Penerapan prinsip corporate governance juga berimplikasi pada
perubahan manajemen pemerintahan menjadi lebih terstandarisasi, artinya ada sejumlah
kriteria standar yang harus dipatuhi instansi pemerintah dalam melaksanakan aktivitasaktivitasnya.
Standar kinerja ini sekaligus dapat untuk menilai kinerja instansi pemerintah
secara internal mupun eksternal. Standar internal yang bersifat prosedural inilah yang
disebut dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

Perumusan SOP menjadi relevan karena sebagai tolok ukur dalam menilai
efektivitas dan efisiensi kinerja instansi pemerintah dalam melaksanakan program
kerjanya. Secara konseptual prosedur diartikan sebagai langkah -langkah sejumlah
instruksi logis untuk menuju pada suatu proses yang dikehendaki. Proses yang
dikehendaki tersebut berupa pengguna-pengguna sistem proses kerja dalam bentuk
aktivitas, aliran data, dan aliran kerja. Prosedur operasional standar adalah proses standar
langkah -langkah sejumlah instruksi logis yang harus dilakukan berupa aktivitas, aliran
data, dan aliran kerja.

Dilihat dari fungsinya, SOP berfungsi membentuk sistem kerja & aliran kerja
yang teratur, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan; menggambarkan bagaimana
tujuan pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku;
menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan kegiatan berlangsung; sebagai sarana tata
urutan dari pelaksanaan dan pengadministrasian pekerjaan harian sebagaimana metode
yang ditetapkan; menjamin konsistensi dan proses kerja yang sistematik; dan menetapkan
hubungan timbal balik antar Satuan Kerja.

Secara umum, SOP merupakan gambaran langkah-langkah kerja (sistem,
mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk
mencapai tujuan instansi pemerintah. SOP sebagai suatu dokumen/instrumen memuat
tentang proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifat efektif dan efisisen berdasarkan
suatu standar yang sudah baku. Pengembangan instrumen manajemen tersebut
dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pelayanan di seluruh unit kerja
pemerintahan dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sebagai suatu instrumen manajemen, SOP berlandaskan pada sistem manajemen
kualitas (Quality Management System), yakni sekumpulan prosedur terdokumentasi dan
praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian
dari suatu proses dan produk (barang dan/atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan
tertentu. Sistem manajemen kualitas berfokus pada konsistensi dari proses kerja. Hal ini
mencakup beberapa tingkat dokumentasi terhadap standar-standar kerja. Sistem ini
berlandaskan pada pencegahan kesalahan, sehingga bersifat proaktif, bukan pada deteksi
kesalahan yang bersifat reaktif. Secara konseptual, SOP merupakan bentuk konkret dari
penerapan prinsip manajemen kualitas yang diaplikasikan untuk organisasi pemerintahan

(organisasi publik). Oleh karena itu, tidak semua prinsip-prinsip manajemen kualitas
dapat diterapkan dalam SOP karena sifat organisasi pemerintah berbeda dengan
organisasi privat.

Tahap penting dalam penyusunan Standar operasional prosedur adalah melakukan
analisis sistem dan prosedur kerja, analisis tugas, dan melakukan analisis prosedur kerja.

1. Analisis sistem dan prosedur kerja
Analisis sistem dan prosedur kerja adalah kegiatan mengidentifikasikan fungsifungsi
utama dalam suatu pekerjaan, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam
melaksanakan fungsi sistem dan prosedur kerja. Sistem adalah kesatuan unsur atau unit
yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi sedemikian rupa, sehingga muncul
dalam bentuk keseluruhan, bekerja, berfungsi atau bergerak secara harmonis yang
ditopang oleh sejumlah prosedur yang diperlukan, sedang prosedur merupakan urutan
kerja atau kegiatan yang terencana untuk menangani pekerjaan yang berulang dengan
cara seragam dan terpadu.

2. Analisis Tugas
Analisis tugas merupakan proses manajemen yang merupakan penelaahan yang
mendalam dan teratur terhadap suatu pekerjaan, karena itu analisa tugas diperlukan dalam
setiap perencanaan dan perbaikan organisasi. Analisa tugas diharapkan dapat
memberikan keterangan mengenai pekerjaan, sifat pekerjaan, syarat pejabat, dan
tanggung jawab pejabat. Di bidang manajemen dikenal sedikitnya 5 aspek yang berkaitan
langsung dengan analisis tugas yaitu :

a. Analisa tugas, merupakan penghimpunan informasi dengan sistematis dan
penetapan seluruh unsur yang tercakup dalam pelaksanaan tugas khusus.
b. Deskripsi tugas, merupakan garis besar data informasi yang dihimpun dari analisa
tugas, disajikan dalam bentuk terorganisasi yang mengidentifikasikan dan
menjelaskan isi tugas atau jabatan tertentu. Deskripsi tugas harus disusun
berdasarkan fungsi atau posisi, bukan individual; merupakan dokumen umum
apabila terdapat sejumlah personel memiliki fungsi yang sama; dan
mengidentifikasikan individual dan persyaratan kualifikasi untuk mereka serta
harus dipastikan bahwa mereka memahami dan menyetujui terhadap wewenang
dan tanggung jawab yang didefinisikan itu.

c.
Spesifikasi tugas berisi catatan-catatan terperinci mengenai kemampuan pekerja
untuk tugas spesifik
d.
Penilaian tugas, berupa prosedur penggolongan dan penentuan kualitas tugas
untuk menetapkan serangkaian nilai moneter untuk setiap tugas spesifik dalam
hubungannya dengan tugas lain
e.
Pengukuran kerja dan penentuan standar tugas merupakan prosedur penetapan
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap tugas dan menetapkan ukuran
yang dipergunakan untuk menghitung tingkat pelaksanaan pekerjaan.
Melalui analisa tugas ini tugas-tugas dapat dibakukan, sehingga dapat dibuat
pelaksanaan tugas yang baku. Setidaknya ada dua manfaat analisis tugas dalam
penyusunan standar operasional prosedur yaitu membuat penggolongan pekerjaan yang
direncanakan dan dilaksanakan serta menetapkan hubungan kerja dengan sistematis.

3. Analisis prosedur kerja
Analisis prosedur kerja adalah kegiatan untuk mengidentifikasi urutan langkahlangkah
pekerjaan yang berhubungan apa yang dilakukan, bagaimana hal tersebut
dilakukan, bilamana hal tersebut dilakukan, dimana hal tersebut dilakukan, dan siapa
yang melakukannya. Prosedur diperoleh dengan merencanakan terlebih dahulu
bermacam-macam langkah yang dianggap perlu untuk melaksanakan pekerjaan. Dengan
demikian prosedur kerja dapat dirumuskan sebagai serangkaian langkah pekerjaan yang
berhubungan, biasanya dilaksanakan oleh lebih dari satu orang, yang membentuk suatu
cara tertentu dan dianggap baik untuk melakukan suatu keseluruhan tahap yang penting.
Analisis terhadap prosedur kerja akan menghasilkan suatu diagram alur (flow chart) dari
aktivitas organisasi dan menentukan hal-hal kritis yang akan mempengaruhi keberhasilan
organisasi. Aktivitas-aktivitas kritis ini perlu didokumetasikan dalam bentuk prosedurprosedur
dan selanjutnya memastikan bahwa fungsi-fungsi dan aktivitas itu dikendalikan
oleh prosedur-prosedur kerja yang telah terstandarisasi.

Prosedur kerja merupakan salah satu komponen penting dalam pelaksanaan tujuan
organisasi sebab prosedur memberikan beberapa keuntungan antara lain memberikan
pengawasan yang lebih baik mengenai apa yang dilakukan dan bagaimana hal tersebut
dilakukan; mengakibatkan penghematan dalam biaya tetap dan biaya tambahan; dan

membuat koordinasi yang lebih baik di antara bagian-bagian yang berlainan. Dalam
menyusun suatu prosedur kerja, terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan yaitu :

1) Prosedur kerja harus sederhana sehingga mengurangi beban pengawasan;

2) Spesialisasi harus dipergunakan sebaik-baiknya;

3) Pencegahan penulisan, gerakan dan usaha yang tidak perlu;

4) Berusaha mendapatkan arus pekerjaan yang sebaik-baiknya;

5) Mencegah kekembaran (duplikasi) pekerjaan;

6) Harus ada pengecualian yang seminimun-minimunya terhadap peraturan;

7) Mencegah adanya pemeriksaan yang tidak perlu;
8) Prosedur harus fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kondisi yang berubah;

9) Pembagian tugas tepat;

10) Memberikan pengawasan yang terus menerus atas pekerjaan yang dilakukan;

11) Penggunaan urutan pelaksanaan pekerjaaan yang sebaik-baiknya;

12) Tiap pekerjaan yang diselesaikan harus memajukan pekerjaan dengan

memperhatikan tujuan;

13) Pekerjaan tata usaha harus diselenggarakan sampai yang minimum;

14) Menggunakan prinsip pengecualian dengan sebaik-baiknya

Hasil dari penyusunan prosedur kerja ini dapat ditulis dalam “buku pedoman organisasi”
atau “daftar tugas”yang memuat lima hal penting, yaitu :

1) Garis-garis besar organisasi (tugas-tugas tiap jabatan);

2) Sistem-sistem atau metode-metode yang berhubungan dengan pekerjaan;

3) Formulir-formulir yang dipergunakan dan bagaimana menggunakannya;

4) Tanggal dikeluarkannya dan di bawah kekuasaan siapa buku pedoman tersebut

diterbitkan;

5) Informasi tentang bagaimana menggunakan buku pedoman tersebut

Penyusunan Standar Operasional Prosedur terbagi dalam tiga proses kegiatan
utama yaitu Requirement discovery berupa teknik yang digunakan oleh sistem tersebut
untuk mengidentifikasi permasalahan sistem dan pemecahannya dari pengguna sistem;

Data modeling berupa teknik untuk mengorganisasikan dan mendokumentasikan sistem
data; dan Process modeling berupa teknik untuk mengorganisasikan dan
mendokumentasikan struktur dan data yang ada pada seluruh sistem proses atau logis,
kebijakan prosedur yang akan diimplementasikan dalam suatu proses sistem.

Dilihat dari ruang lingkupnya, penyusuan SOP dilakukan disetiap satuan unit kerja
dan menyajikan langkah-langkah serta prosedur yang spesifik berkenaan dengan
kekhasan tupoksi masing-masing satuan unit kerja yang meliputi penyusunan langkahlangkah,
tahapan, mekanisme maupun alur kegiatan. SOP kemudian menjadi alat untuk
meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan secara efektif dan efisien. Prinsip
dasar yang perlu diperhatikan dalam penyusunan SOP adalah :

1) Penyusunan SOP harus mengacu pada SOTK, TUPOKSI, serta alur dokumen;

2) Prosedur kerja menjadi tanggung jawab semua anggota organisasi;

3) Fungsi dan aktivitas dikendalikan oleh prosedur, sehingga perlu dikembangkan

diagram alur dari kegiatan organisasi;

4) SOP didasarkan atas kebijakan yang berlaku;

5) SOP dikoordinasikan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

kesalahan/penyimpangan;

6) SOP tidak terlalu rinci;

7) SOP dibuat sesederhana mungkin;
8) SOP tidak tumpang tindih, bertentangan atau duplikasi dengan prosedur lain;

9) SOP ditinjau ulang secara periodik dan dikembangkan sesuai kebutuhan.

Berdasarkan pada prinsip penyusunan SOP di atas, penyusunan SOP didasarkan
pada tipe satuan kerja, aliran aktivitas, dan aliran dokumen. Kinerja SOP diproksikan
dalam bentuk durasi waktu, baik dalam satuan jam, hari, atau minggu, dan bentuk
hirarkhi struktur organisasi yang berlaku. Proses penyusunan SOP dilakukan dengan
memperhatikan kedudukan, tupoksi, dan uraian tugas dari unit kerja yang bersangkutan.
Berdasarkan aspek-aspek tersebut SOP disusun dalam bentuk diagram alur (flow chart)
dengan menggunakan simbol-simbol yang menggambarkan urutan langkah kerja, aliran
dokumen, tahapan mekanisme, serta waktu kegiatan. Setiap satuan unit kerja memiliki
SOP sesuai dengan rincian tugas pokok dan fungsinya, karena itu setiap satuan unit kerja

memiliki lebih dari satu SOP. Bentuk SOP dituangkan dalam tiga Format (Form SOP 1,

SOP 2, dan SOP 3) seperti contoh berikut ini.

Contoh Form SOP 1.

Unit Kerja :
Fungsi :
Rincian Tugas :

Kode fungsi :

NO Kegiatan Kode Kegiatan Indikator Kunci
Keberhasilan
1 2 3 .
fl

Contoh Form SOP 2

Unit Kerja : ……………………………………
Fungsi : ……………………………………
Rincian Tugas : ……………………………………
Kegiatan : ……………………………………

Kode kegiatan: ………………

No. Uraian Unit Kerja/ Pelaksana Kegiatan
Kegiatan A B C D E F
1 2 3 4 5 6 7 8

Contoh Form SOP 3

Unit Kerja :
Fungsi :
Rician Tugas Unit :
Kegiatan :

Kode kegiatan: ………………..

Kepe Urutan A D E F
gawa
ian
Huku
m
Kegiatan B C

Pelaksanaan SOP dapat dimonitor secara internal maupun eksternal dan SOP
dievaluasi secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun dengan materi
evaluasi mencakup aspek efisiensi dan efektivitas SOP. Evaluasi dilakukan oleh Satuan
Kerja penyelenggara kegiatan (di lingkungan instansi Pemerintah), atau lembaga
independen yang diminta bantuannya oleh instansi Pemerintah. Pendekatan yang
digunakan untuk melakukan monitoring dan evaluasi menggunakan pendekatan
partisipatif.

Perubahan SOP (diganti atau penyesuaian) dapat dilakukan apabila terjadi
perubahan kebijakan Pemerintah atau SOP dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan masyarakat. Perubahan SOP dilakukan melalui proses penyusunan SOP
baru sesuai tata cara yang telah dikemukakan.

IV. Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah Melalui Penerapan SOP
Standar operasional prosedur (SOP) memuat informasi tentang jangka waktu
pelaksanaan kegiatan, pengguna layanan, hirarkhi struktur organisasi, serta langkahlangkah
kerja dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Pelaksanaan SOP dalam penyelengaraan

pemerintahan memiliki multifungsi baik sebagai alat deteksi potensi penyimpangan dari
tugas pokok dan fungsi; sebagai alat koreksi atas setiap penyimpangan yang terjadi;
sebagai alat evaluasi untuk meningkatkan kinerja setiap satuan kerja ke tingkat yang lebih
efektif, efisien, profesional, transparan dan handal. Kinerja satuan unit kerja yang efisien
merupakan syarat mutlak bagi pemerintah untuk mencapai tujuannya dan merupakan
salah satu alat terpenting dalam membawa instansi pemerintah dalam mewujudkan visi
dan misinya.

Evaluasi kinerja pada instansi pemerintah memiliki kekhususan tersendiri yang
membedakannya dengan evaluasi kinerja pada organisasi privat yang berorientasi
eksternal (pelayanan) dan dilandasi oleh motif mencari keuntungan. Pada unit-unit kerja
instansi pemerintah, standar penilaian kinerja yang sifatnya eksternal atau berhubungan
langsung dengan publik umumnya didasarkan pada indikator-indikator responsivitas,
responsibilitas, dan akuntabilitas. Sementara standar penilaian kinerja yang sifatnya
internal didasarkan pada SOP dan pengendalian program kerja dari instansi yang
bersangkutan. Kedua jenis standar ini (eksternal maupun internal) diarahkan untuk
menilai sejauhmana akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dicapai. Artinya,
standar eksternal maupun standar internal pada akhirnya akan bermuara pada penilaian
tercapainya masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (results), manfaat (benefits) dan
dampak (impacts) yang dikehendaki dari suatu program.

Pada prinsipnya, standar operasional prosedur lebih diorientasikan pada penilaian
kinerja internal kelembagaan, terutama dalam hal kejelasan proses kerja di lingkungan
organisasi termasuk kejelasan unit kerja yang bertanggungjawab, tercapainya kelancaran
kegiatan operasional dan terwujudnya koordinasi, fasilitasi dan pengendalian yang
meminimalisir tumpang tindih proses kegiatan di lingkungan sub-sub bagian dalam
organisasi yang bersangkutan. Standar operasional prosedur berbeda dengan
pengendalian program yang lebih diorientasikan pada penilaian pelaksanaan dan
pencapaian outcome dari suatu program/kegiatan. Namun keduanya saling berkaitan
karena standar operasional prosedur merupakan acuan bagi aparat dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya, termasuk dalam pelaksanaan program/kegiatan.

Standar Operasional Prosedur dapat digunakan untuk penilaian kinerja secara
eksternal, dan apabila pedoman yang sifatnya internal ini digabungkan dengan pedoman

eksternal (penilaian kinerja organisasi publik di mata masyarakat) berupa responsivitas,
responsibilitas, dan akuntabilitas, akan mengarah pada terwujudnya akuntabilitas kinerja
aparatur dan instansi pemerintah. Selama ini, penilaian akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah umumnya didasarkan pada standar eksternal, padahal sebagai bentuk
organisasi publik, instansi pemerintah memiliki karakteristik khusus yakni sifat birokratis
dalam internal organisasinya. Oleh karena itu, untuk menilai pelaksanaan mekanisme
kerja internal tersebut unit kerja pelayanan publik harus memiliki acuan untuk menilai
pelaksanaan kinerja instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis,
administratif dan prosedural sesuai dengan tata hubungan kerja dalam organisasi yang
bersangkutan dalam bentuk standar operasional prosedur.

Menyadari pentingnya SOP dalam penyenggaraan pemerintahan dan hasil kajian
menunjukkan tidak semua satuan unit kerja instansi pemerintah memiliki SOP,
pemerintah propinsi Jawa Barat dalam upaya meningkatkan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah menetapkan Surat Keputusan Gubernur No. 67 Tahun 2004 tentang pedoman
penyusunan SOP. Dengan dikeluarkannya SK Gubernur tersebut, pemerintah Propinsi
Jawa Barat mewajibkan kepada setiap satuan unit kerja dilingkungan pemerintah propinsi
Jawa Barat untuk menyusun SOP dan menerapkan di satuan unit kerjanya dengan
harapan melalui penerapan SOP ini akuntabilitas kinerja instansi pemerintah secara
internal maupun internal dapat terwujud. Seharusnyalah setiap satuan unit kerja
pelayanan publik instansi pemerintah memiliki standar operasional prosedur sebagai
acuan dalam bertindak, agar akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dievaluasi
dan terukur.

V. Penutup
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa standar operasional
prosedur sebagai alat penilaian kinerja berorientasi pada penilaian kinerja internal
kelembagaan, terutama dalam hal kejelasan proses kerja di lingkungan organisasi
termasuk kejelasan unit kerja yang bertanggungjawab, tercapainya kelancaran kegiatan
operasional dan terwujudnya koordinasi, fasilitasi dan pengendalian yang meminimalisir
tumpang tindih proses kegiatan di lingkungan sub-sub bagian dalam organisasi yang
bersangkutan. Standar operasional prosedur berbeda dengan pengendalian program yang

lebih diorientasikan pada penilaian pelaksanaan dan pencapaian outcome dari suatu
program/kegiatan. Namun keduanya saling berkaitan karena standar operasional prosedur
merupakan acuan bagi aparat dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya termasuk
dalam pelaksanaan kegiatan program.

Selama ini, penilaian akuntabilitas kinerja instansi pemerintah umumnya
didasarkan pada standar eksternal padahal sebagai bentuk organisasi publik, instansi
pemerintah memiliki karakteristik khusus yakni sifat birokratis dalam internal
organisasinya. Oleh karena itu apabila pedoman yang sifatnya internal ini jika
digabungkan dengan pedoman eksternal (penilaian kinerja organisasi publik di mata
masyarakat) berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas, maka akan mengarah
pada terwujudnya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Hasil kajian menunjukkan
tidak semua satuan unit kerja instansi pemerintah memiliki SOP, karena itu
seharusnyalah setiap satuan unit kerja pelayanan publik instansi pemerintah memiliki
standar operasional prosedur sebagai acuan dalam bertindak. Melalui penerapan SOP ini
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dievaluasi dan terukur.

Senin, 04 Mei 2009

UTS Rekayasa nilai ( Subkhi Lutfianto - 05110020 ; M.Afan rifai - 05110055 )

“JOB PLANT” DALAM REKAYASA NILAI
Rekayasa nilai adalah suatu metode untuk mengatasi penggunaan biaya yang tidak diperlukan. Suatu teknik yang telah diuji dapat dicari dengan pendekatan sistematik yaitu keseimbangan terbaik antara performansi dan biaya.
Pendekatan sistematik pada rekayasa nilai disebut dengan Rencana Kerja (Job Plan). Rencana kerja dari rekayasa nilai merupakan kerangka dimana teknik-teknik saling terkait satus ama lain. Keterkaitan ini dapat dikelompokan dalam beberapa tahap, dimana apada masing-masing tahap dapat diterapkan teknik-teknik yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Agar proses perencanaan rekayasa nilai lebih efisien maka suatu tahap dapat diulangi beberapa kali samapai didapatkan hasil yang diinginkan.
Pada dasarnya dari beberapa rencana kerja yang ada dalam pendektan dapat dikatakan hampir sama. Prosedur yang umum diapakai adalah standar rencana kerja 5 tahap yang terdiri dari :
1) Tahap informaasi (information phase)
2) Tahap kreatif (creative ohase)
3) Tahap penilaian / analisis (judgement phase)
4) Tahap pengembangan (development phase)
5) Tahap presentas ( recommendation phase)
Rencana kerja rekayasa nilai dimulai secara berurutan dari tahap informasi (1), kemudian tahap kreatif (2), tahap penenlitian (3), tahap pengembangan (4) dan tahap presentasi (5). Namun, dalam pelaksanaan, mungkin ada pada tahap penilaian (3), dibutuhkan data/ informasi baru, sehingga harus kembali ke tahap sebelumnya (1) atau (2)


____________________________________________________________________________________________________________________

TAHAP INFORMASI

Nama Proyek : Peningkatan Upaya Pendidikan Madrasah Ibtida’iyah Roudlotul Ulum
Pekerjaan : Pembangunan Ruang Sekolah

Luas Bangunan : 339 M2

Lokasi : Desa Kebonsari kecamatan Candi Sidoarjo

Anggaran : 2009

Tahap informasi merupakan tahap awal dalam rencan kerja rekayasa nilai yang dimaksudkan untuk memenuhi beberapa tujuan. Adapun tujuan – tujuan tersebut antara lain:
- mendapatkan basis informasi umum tentang suatu system atau proyek
- memperoleh pentabulasian data yang berkenaan dengan item pekerjaan
- menentukan item pekerjaan studi
- mendapatkan item pekerjaan yang akan dilakukan penggalian terhadap alternatif – alternatifnya pada tahap kreatif dan penganalisaan pada tahap analisa

PEMILIHAN ITEM PEKERJAAN
Pada pemilihan item pekerjaan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasikan item pekerjaan yang berbiaya tinggi dan memilih item pekerjaan tersebutuntuk item studi pada tahapan analisa selanjutnya. Pemilihan item pekerjaan dilakukan berdasarkan desain proyek dan data – data biaya dari rencana anggaran biaya. Pemilihan item pekerjaan dilakukan dengan dua langkah, yaitu:
- identifikasi biaya tinggi
- identifikasi biaya yang tidak diperlukan melalui analisa fungsi

IDENTIFIKASI BIAYA TINGGI
Identifikasi biaya tinggi dilakukan melalui tahap – tahap penyusunan bagan biaya, breakdown biaya dan analisa hukum pareto untuk memperoleh garis batas item berbiya tinggi. Penjelasan dari tahap – tahap tersebut adalah:
a. Bagan Biaya
Penelitian dari item biaya kerja dimulai dari pekerjaan arsitektur. Pekerjaan arsitektur dipilih karena memiliki biaya tertinggi dan prosentase 55,46% dari total biaya proyek.

Pemilihan item pekerjaan berbiaya tinggi
Bagan biaya
Total biaya proyek pada ruang radiologi sebesar Rp 536.561.791,03

_________________________________________________________________________________________________________________

Menentukan Breakdown Biaya

Tabel Breakdown Biaya Proyek


No Item Pekerjaan Biaya Biaya Kumulatif Prosentase Biaya (%) Prosentase kumulatif Biaya (%)
1 Arsitektur 297.574.006,42 297.574.006,42 55,46 55,46
2 Struktur 158.884.937,82 456.458.944,24 29,61 85,07
3 Pondasi 37.934.584.55 494.393.528,79 7,07 92,14
4 M & E 18.339.800,00 512.733.328,79 3,42 95,56
5 Tanah 13.682.872,71 526.416.201,50 2,55 98,11
6 Sanitasi 8.645.589,53 535.061.791,03 1,61 99,72
7 Persiapan 1.500.000,00 536.561.791,03 0,28 100,00
Total Biaya 536.561.791,03

__________________________________________________________________________________________________________________

TAHAP AKTIVITAS


Desain Original
No Komponen Pekerjaan Volume Pekerjaan Harga Satuan Total Harga
1 genteng 272,45 m2 58.727,00 16.000.171,15
2 bubugan genteng 38,00 m 60.272,70 2.290.362,60
3 nok bengkirai 0,29 m3 3.181.800,00 922.722,00
4 usuk 5/7 dan reng 3/4 bengkirai 272,45 m2 53.368,50 14.540.247,83
5 gording double kanal C150,75,20,3,2 5.226,25 kg 10.735,28 56.105.257,10
6 papan reuter jati 38,00 m 45.849,43 1.742.278,34
7 Lisplank bengkirai 97,70 m 37.986,70 3.711.300,59
8 topi - opti beton 24,70 m 22.700,00 560.690,00
95.873.029

________________________________________________________________________________________________________________

UTS MAKALAH Profesional skill ( M.Afan Rifai 05110055)

GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA
ERIKA REVIDA

BAB I
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, pemerintah sedang giat-giatnya mencanangkan produktivitas sebagai salah satu jurus pembangunan yang dikembangkan, untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara maju. Presiden Suharto dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1986 mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk melaksanakan gerakan nasional dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas di segala bidang. Sejak itu, secara perlahan-lahan telah tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat, terutama di kalangan pemerintah dan dunia usaha tentang pentingnya gerakan produktivitas nasional. Produktivitas nasional mencakup banyak hal, dimulai dari produktivitas tenaga kerja,
produktivitas organisasi, produktivitas modal, produktivitas pemasaran, produktivitas
produksi, produktivitas keuangan dan produktivitas produk. Pada tahap awal revolusi
industri di negara-negara Eropah, perhatian lebih banyak tertuju pada bidang produktivitas tenaga kerja, produktivitas produksi dan produktivitas pemasaran. Sedangkan di Negara Jepang, perhatian peningkatan produktivitas tertuju pada produktivitas tenaga kerja dan produktivitas organisasi, sehingga keharmonisan kepentingan buruh dan majikan dipelihara dengan baik. Riggs (dalam Prisma. 1986:5) menyatakan ada 3 tahapan penting yang perlu ditempuh untuk mensukseskan gerakan produktivitas, yaitu dengan ringkasan A-I-M (Awareness, Improvement, dan Maintanence).
Indonesia, pada saat ini masih pada tahap Awareness, belum mencapai Inprovement
dan Maintanance. Untuk sampai pada tahap Improvement dan Maintanance banyak cara yang ditempuh, diantaranya dengan meningkatkan produktivitas total, yang terdiri dari (a). Tingkat ekonomi makro; (b). Tingkat sektor lapangan usaha; (c). Tingkat unit organisasi secara individual dan; (d). Tingkat manusia secara individual.
Simanjuntak (1983) menyatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh faktor yang
bersumber dari individu itu sendiri, lingkungan sosial pekerjaan, dan faktor yang
berhubungan dengan kondisi pekerjaan.
Batu Bara (1989) menyatakan bahwa produktivitas itu dipengaruhi oleh motivasi dan
atos kerja, Keterampilan dan kualitas tenaga kerja, pengupahan dan jaminan sosial.
Berdasarkan kajian di atas, makalah ini ingin mengkaji bagaimana pengaruh manajemen, dalam hal ini gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pimpinan terhadap produktivitas tenaga kerja, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seperti yang dilontarkan oleh Simanjuntak (1983) bahwa salah satu masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini adalah rendahnya produktivitas kerja. Sehubungan dengan hal tersebut yang akan dikaji dalam makalah ini adalah “Gaya kepemimpinan yang bagaimanakah yang mendukung tingkat produktivitas kerja yang tinggi"?.
PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Adalah suatu kenyataan kehidupan organisasional bahwa pimpinan memainkan
peranan yang amat penting, bahkan dapat dikatakan amat menentukan dalam usaha
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pimpinan membutuhkan orang lain, yaitu bawahan untuk melaksanakan secara langsung tugas-tugas, di samping memerlukan sarana dan prasarana lainnya. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan usaha dan iklim yang kondusif di dalam kehidupan organisasional.
Agar tidak terjadi ambiquity, ada baiknya diberi batasan tentang kepemimpinan.
Bordil (dalam Sugandha, 1981) mendefenisikan bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok yang terorganisasikan dalam usaha-usaha
menentukan tujuan dan mencapainya.
Bennis (dalam Kartono, 1982) memberi batasan kepemimpinan sebagai “… the
process by which an agent induces a subordinate to behave in a desired manner" (proses yang digunakan seorang pejabat menggerakkan bawahannya untuk berlaku sesuai dengan cara yang diharapkan).
Dari defenisi di atas dapat dinyatakan bahwa kepemimplnan adalah merupakan
proses mempengaruhi atau menggerakkan bawahan (followers) agar mau melaksanakan apa yang diinginkan atau diharapkan oleh pimpinan tersebut. Oleh karena pentingnya peranan kepemimpinan di dalam kehidupan organisasional, ada pakar yang menyebut bahwa "Leadership is getting things done by the others".


Seorang pemimpin di dalam melaksanakan kepemimpinan haruslah memiliki kriteria-
kriteria yang diharapkan, dalam arti seorang pemimpin harus memiliki kriteria yang lebih dari pada bawahannya misalnya jujur, adil, bertanggung jawab, loyal, energik, dan beberapa kriteria-kriteria lainnya. Kepemimpinan merupakan sebuah hubungan yang kompleks, oleh karena berhadapan dengan kondisi-kondisi ekonomi, nilai-nilai sosial dan pertimbangan politis.
GAYA KEPEMIMPINAN
Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan (followers) agar mau melaksanakan tugas dan kewajibannya
sesuai dengan yang dihaapkan agar tercapai tujuan yang telah dltentukan sebelumnya.
Ada beberapa jenis gaya kepemimpinan yang di tawarkan oleh para pakar leardership, mulai dari yang klasik sampai kepada yang modern yaitu gaya kepemimpinan situasional model Hersey dan Blancard.
1. Gaya Kepemimpinan Kontinum
Gaya ini pertama sekali dikembangkan oleh Robert Tannenbaum dan warren
Schmidt. Menurut kedua ahli ini ada dua bidang pengaruh yang ekstrim, yaitu:
1). Bidang pengaruh pimpinan
2). Bidang pengaruh kebebasan bawahan.
Pada bidang pertama pemimpin lebih menggunakan otoritasnya, sedangkan pada bidang
ke dua lebih menekankan gaya demokratis.
2. Gaya Managerial Grid
Robert R Blake dan Jane S mouton mengidentifikasikan gaya kepemimpinan yang diterapkan di dalam manajemen yang disebut dengan gaya managerial grid. Sesungguhnya, gaya managerial grid lebih menekankan kepada pendekatan dua aspek yaitu aspek produksi di satu pihak, dan orang-orang di pihak lain. Blake dan Mouton menghendaki bagaimana perhatian pemimpin terhadap produksi dan bawahannya (followers). Dalam managerial grid, ada empat gaya yang ekstrim dan ada satu gaya yang
berada di tengah-tengah gaya ekstrim tersebut, seperti gambar di bawah ini.
Pada grid 1.1. manajer sedikit sekali memikirkan produksi yang harus dicapai.
sedangkan juga sedikit perhatian terhadap orang-orang (followers) di dalam organisasinya.
Dalam grid ini manajer hanya berfungsi sebagai perantara menyampaikan informasi dari
atasan kepada bawahannya.
Dalam grid 9.9. manajer mempunyai perhatian yang tinggi terhadap produksi yang
akan dicapai juga terhadap orang-orang yang bekerja dengannya. Manajer seperti ini dapat
dikatakan sebagai "manajer tim" yang riel (The real team manajer) karena ia mampu
menyatukan antara kebutuhan-kebutuhan produksi dan kebutuhan orang-orang secara
individu.
Grid 1.9 manajer memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap orang-orang
dalam organisasi, tetapi perhatian terhadap produksi adalah rendah. Manajer seperti ini
disebut sebagai "pemimpin club". Gaya seperti ini lebih mengutamakan bagaimana
menyenangkan hati bawahannya agar bawahannya dapat bekerja rileks, santai, bersahabat,
tetapi tidak ada seorangpun yang berusaha untuk mencapai produktlvitas.
Grid 9.1. adalah manajer yang menggunakan gaya kepemimpinan yang otokratis
(autrocratic task managers), karena manejer seperti ini lebih menekankan produksi yang
© 2004 Digitized by USU digital library
2Page 3

harus dicapai organisasinya, baik melalui efisiensi atau efektivitas pelaksanaan kerja, tetapi
tidak mempunyai atau sedikit mempuyai perhatian terhadap bawahan.
Grid yang memiliki perhatian yang medium baik terhadap produksi yang akan dicapai
maupun terhadap orang-orang adalah gris 5.5. Grid ini berusaha menyeimbangkan produksi
yang akan dicapai dengan perhatian terhadap orang-orang, dalam arti tidak terlalu
menyolok. Manajer seperti ini tidak terlalu menciptakan target produksi yang akan dicapai,
tetapi juga tidak mempunyai perhatian yang tidak terlalu menyolok kepada orang-orang.
3. Tiga Dimensi dari Reddin
William J Reddin, seorang Professor dan konsultan dari Kanada mengetengahkan
tiga dimensi gaya kepemimpinan dengan efektivitas dalam modalnya. Selain itu dia juga
menekankan pada dua hal yang mendasar yaitu hubungan pemimpin dengan tugas dan
hubungan kerja. Gaya kepemimpinan dari Reddin ini tidak terpengaruh kepada
lingkungan sakitarnya.
Menurut Reddin, ada jenis gaya yang barus diperhatikan yaitu gaya yang efektif
dan gaya yang tidak efektif.
Gaya yang efektif terdiri atas empat jenis, yaitu :
1). Eksekutif. Gaya ini mempunyai perhatian yang banyak terhadap tugas-tugas pekerjaan
dan hubungan kerja. Manajer seperti ini berfungsi sebagai motivator yang baik dan mau
menetapkan produktivitas yang tinggi.
2).Pencinta Pengembangan (Developer). Pada gaya ini lebih mempunyai perhatian yang
penuh terhadap hubungan kerja, sedangkan perhatian terhadap tugas-tugas pekerjaan
adalah minim.
3).Otokratis yang baik. Gaya kepemimpinan ini menekankan perhatian yang maksimum
terhadap pekerjaan (tugas-tugas) dan perhatian terhadap hubungan kerja yang minimum
sekali, tetapi tetap berusaha agar menjaga perasaan bawahannya.
Gaya yang tidak efektif adalah sebagai berikut :
1). Pencinta Kompromi (Compromiser).
Gaya Kompromi ini menitikberatkan perhatian kepada tugas dan hubungan kerja
berdasarkan situasi yang kompromi.
2). Missionari
Manajer seperti ini menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan, dalam arti
memberikan perhatian yang besar dan maksimum pada orang-orang dan hubungan
kerja tetapi sedikit perhatian terhadap tugas dan perilaku yang tidak sesuai.
3). Otokrat
Pemimpin tipe seperti ini memberikan perhatian yang banyak terhadap tugas dan
sedikit perhatian terhadap hubungan kerja dengan perilaku yang tidak sesuai.
4). Lari dari tugas (Deserter)
Manajer yang memiliki gaya kepemipinan seperti ini sama sekali tidak memberikan
perhatian, baik kepada tugas maupun hubung kerja.
4. Gaya Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpin situasional mencoba mengkombinasikan proses kepemimpinan
dengan situasi dan kondisi yang ada. Gaya ini diketengahkan oleh Hersey dan Blancard
yang amat menarik untuk dipelajari.
Menurut gaya kepemimpinan situasional, ada tiga hal yang saling berhubungan
yaitu:
a) Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan.
b) Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan.
c) Tingkat kematangan dan kesiapan para pengikut yang di tunjukkan dalam melaksanakan
tugas kasus, fungsi atau tujuan tertentu.
Pada dasarnya, konsepsi gaya kepemimpinan situasional menekankan kepada
perilaku pimpinan dengan bawahan (followers) saja, yang dihubungkan dengan tingkat
kematangan dan kesiapan bawahannya. Kematangan (maturity) dalam hal ini diartikan
sebagai kemauan dan kemampuan dari bawahan (followers) untuk bertanggung jawab
dalam mengarahkan perilaku sendiri.
Menurut Hersey dan Blancard penemunya (1979) ada empat jenis tingkat
kematangan bawahan (followers) yaitu :
a. Orang yang tidak mampu dan tidak mau atau tidak yakin (M1).
b. Orang yang tidak mampu tetapi mau (M2).
c. Orang yang mampu tetapi tidak mau atau kurang yakin (M3).
d. Orang yang mampu dan mau atau yakin (M4).
Untuk tingkat kematangan (maturity) orang yang mampu dan tidak mau (MI), gaya
kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Instruksi (G1)", karena pada tingkat kematangan
seperti ini sangat mengharapkan adanya pengarahan yang jelas disertai pengawasan yang
ketat. Pada gaya ini terdapat komunikasi arah (one way communications).
Bawahan yang berada pada tingkat kematangan tidak mampu akan tetapi mau
(yakin) (M2), maka gaya kepemimpinan yang lebih sesuai adalah gaya “Konsultasi (G2)”,
karena orang/bawahan yang tergolong seperti ini masih perlu pengarahan dan juga
mamberikan perilaku mendukung untuk memperkuat kemampuan dan antusias.
© 2004 Digitized by USU digital library
3Page 4

Gaya kepemimpinan “Partisipasi” adalah gaya yang sesuai untuk tingkat kematangan
Mampu akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab (M3)/tugas,
karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab
seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu
membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan mendukung usaha-usaha
yang dilakukan para bawahan/pengikutnya.
Selanjutnya, untuk tingkat kematangan yang mampu dan mau/yakin (M4), maka
gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Delegasi", karena orang/bawahan seperti ini
adalah mampu melaksanakan tugas dan mau/yakin. Dengan gaya delegasi ini pimpinan
sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau
melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan
sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, Kapan dan dimana pekerjaan mereka
harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.
PRODUKTIVITAS KERJA
Secara umum, produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun
fisik dengan masukan yang sebenarnya (ILO, 1979). Greenberg yang dikutip oleh Sinungan
(1985) mengartikan produktivitas sebagai perbandingan antara totalitas pengeluaran pada
waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ravianto (1995) yaitu produktivitas adalah
pendekatan muti disiplin yang secara efektif merumuskan tujuan dan pelaksanaan
(operasional) dengan menggunakan sumber daya secara efisien namun tetap menjaga
kualitas.
Dari penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa produktivitas adalah sikap
mental yang menganggap hari ini barus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih
baik dari hari ini. Cara-cara kerja hari ini harus lebih baik dari cara-cara kerja kemarin, dan
cara-cara kerja hari esok harus lebih baik dari cara-cara kerja hari ini, demikian seterusnya.
Ravianto (1995) membagi produktivitas menjadi produktivitas tenaga kerja,
produktivitas modal, produktivitas organisasi, produktivitas penjualan, produktivitas
produksi, dan produktivitas produk.
Dengan mengacu pada pengertian produktivitas yang dikemukakan para ahli di atas,
maka rumusan produktivitas kerja diajukan oleh Simanjuntak (1985) sebagai perbandingan
antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu. Karyawan
dinyatakan memiliki produktivitas kerja apabila dapat menghasilkan kerja lebih dari hasil
kerja yang telah dicapai sebelumnya. Sebaliknya karyawan yang memiliki produktivitas
yang rendah apabila hasil kerja yang diperolehnya menurun, atau lebih kecil atau sedikit
dari hasil kerja yang telah dicapai sebelumnya. Hasil kerja karyawan tersebut diukur dengan
mengadakan observasi yang didalamnya mencakup aspek kuantitas dan kualitas.
Dewan Produktivitas Nasional (dalam Ravianto, 1995) memberi batasan
produktivitas kerja sebagai kemampuan seseorang tenaga kerja atau sekelompok orang
untuk menghasilkan barang atau jasa.
Sinungan (1987) mendefenisikan produktivitas kerja mencakup sikap mental
patriotik yang memandang hari depan secara optimis dengan berakar pada keyakinan diri
bahwa kehidupan hari ini adalah lebih baik dari hasil kerja kemarin dan hari esok adalah
lebih baik dari hari ini.
Hasil penelitian Beri (dalam Kusriyanto, 1986) mengungkapkan ada empat faktor
penelitian terhadap produktivitas kerja yakni pelaksanaan kerja relatif baik, sikap kerja,
tingkat keahlian, disiplin kerja.
Produktivitas kerja karyawan tidak akan terlepas dari rangkaian berbagai faktor yang
mempengaruhinya, yaitu faktor yang terdapat pada diri manusia. Faktor yang terdapat
dalam diri manusia adalah keinginan tenaga kerja tersebut untuk meningkatkan kreativitas
kerjanya, sedangkan faktor yang terdapat di luar diri tenaga kerja adalah menyangkut
situasional baik berupa fisik maupun sosial. Faktor situasional umumnya berada dalam
kendali organisasi.
GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA
Gaya kepemimpinan, Secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh
yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan/pegawai. Hal ini didukung
oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang termasuk di
dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan produktivitas
kerja.
Dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya Kepemimpinan yang dapat
meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari yang paling klasik yaitu teori sifat
sampai kepada teori situasional.
Dari beberapa gaya yang di tawarkan para ahli di atas, maka gaya kepemimpinan
situasionallah yang paling baru dan sering di gunakan pemimpin saat ini. Gaya
kepemimpinan situasional dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok
untuk diterapkan saat ini. Hal ini didasarkan asumsi bahwa dengan gaya ini, setiap
© 2004 Digitized by USU digital library
4Page 5

bawahan/followers tidak dapat digeneralisasikan gaya yang akan diterapkan, akan tetapi
sangat tergantung kepada tingkat kematangan setiap bawahan yang secara alamiah
berbeda.
Untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan/bawahan sangat diperlukan
penelitian/kejelian yang mendalam dari seorang pemimpin dalam melihat tingkat
kematangan setiap bawahan/karyawannya. Hal ini diperlukan dalam rangka penerapan gaya
kepemimpinan apa yang harus diterapkan oleh pemimpin tersebut.
Menurut Gaya kepemimpinan situasional, ada empat kategori tingkat kematangan
bawahan yaitu M1 yang ditandai dengan bawahan/karyawan yang tergolong pada
kemampuan yang kurang/tidak mampu dan tidak mau. Dalam meningkatkan produktivitas
kerjanya, bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan M1, maka gaya yang
sesuai/cocok diterapkan adalah gaya G1 yaitu gaya "Instruksi (G1)", karena bawahan
seperti ini masih sangat memerlukan pengarahan dan dukungan, masih perlu bimbingan
dari atasan tentang bagaimana, kapan dan dimana mereka dapat melaksakanya tanggung
jawab/tugasnya.
Sedangkan lntuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan M2, yaitu
bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang sesuai
adalah gaya "Konsultasi (G2)", karena bawahan seperti ini masih penagarahan, karena
kurang mampu, juga
memberikan perilaku yang
mendukung. Dalam hal
ini
pimpinan/pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (two way communications), yaitu
untuk membantu bawahan dalam meningkatkan motivasi kerjanya.
Selanjutnya, bawahan yang tergolong pada M3 yaitu bawahan yang mampu tetapi
tidak mau melaksanakan tugas/tangung jawabnya. Untuk meningkatkan produktivitas
kerjanya gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Partisipasi (G3)", karena bawahan
seperti ini sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan, akan tetapi
kurang memiliki kemauan dalam melaksanakan tugas. Untuk meningkatkan produktivitas
kerjanya, dalam hal ini pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan
mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan.
Gaya "Delegasi (G4) adalah gaya yang cocok diterapkan pada bawahan yang
memiliki tingkat kematangan M4 yaitu bawahan yang memiliki kemauan juga kemampuan
dalam bekerja. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun
pengarahan, karena dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan dimana
mereka barus melaksanakan tugas/tangung jawabnya.
Dengan penerapan gaya kepemimpinan situasional ini, maka bawahan/pegawai
merasa diperhatikan oleh pemimpin, sehingga diharapkan produktivitas kerjanya akan
meningkat.
Dengan demikian sebenarnya, apa yang ditawarkan oleh para ahli tentang berbagai
gaya kepemimpinan seperti demokratis, otokratis, partisipatif dan sebagainya adalah
kurang cocok diterapkan sama untuk setiap bawahan, misalnya untuk tingkat kematangan
yang sudah relatif tinggi tidak sesuai diterapkan gaya otokratis dan sebagainya. Jadi dalam
upaya meningkatkan produktivitas kerja pegawai/bawahan perlu penerapan gaya
kepemimpinan yang situasional, Karena menurut gaya ini tidak ada satu gaya
kepemimpinan yang dapat diterapkan secara umum kepada setiap orang, akan tetapi
sangat tergantung pada tingkat kematangan bawahannya.
KESIMPULAN
Kepemimpinan adalah suatu proses
dimana pimpinan/pemimpin dapat
mempengaruhi bawahannya/orang lain, agar bawahan/orang lain tersebut mau melakukan
apa yang diinginkan oleh pimpinan/pemimpin tersebut.
Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan pimpinan/pemimpin dalam
mempengaruhi bawahan/orang lain, agar tercapai apa yang diinginkannya.
Produktivitas kerja adalah hasil kerja yang nyata diperoleh oleh tenaga kerja yang
didasari sikap mental yang patriotik yang menganggap bahwa hari ini harus lebih baik dari
hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Cara-cara kerja hari ini harus lebih
baik dari cara-cara kerja kemarin, dan cara-cara kerja hari esok harus lebih baik dari cara-
cara kerja hari ini.
Untuk meningkatkan Produktivitas kerja, gaya kepemimpinan situasional adalah
gaya yang paling sesuai diterapkan seorang pemimpin/pimpinan saat ini, mengingat bahwa
penerapan gaya ini disesuaikan dengan tingkat kematangan bawahan/pengikut. Hal ini
didasari asumsi bahwa setiap bawahan/orang lain akan memiliki tingkat kematangan yang
berbeda satu sama lain.
© 2004 Digitized by USU digital library
5Page 6

REFERENSI
Batu Bara, Cosmas. 1989. Kebijaksanaan peningkatan produktivitas nasional. Makalah.
Yogyakarta.
International Labour Office. 1982. Penelitian kerja dan produktivitas. Jakarta. penerbit
Erlangga.
Kartono, Kartini. 1982. Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta. Rajawali Press.
Kusriyanto, Bambang. 1986. Meningkatkan produktivitas karyawan. Jakarta. PT Binaman
Pressindo.
Ravianto, J. 1995. Motivation and Awareness. Makalah. Jakarta.
Sinungan, Muchdarsyah. 1987. Produktivitas apa dan bagaimana. Jakarta. PT Bina Aksara.
Simanjuntak, Payaman. 1985. Produktivitas kerja, Pengertian dan ruang lingkupnya.
Prisma. Jakarta. LP3ES.
Suganda, Dann. 1981. Kepemimpinan di dalam Organisasi dan manajemen. Bandung. CV
Sinar Baru.
Terry, George. 1983. Principle of management. Terjemahan. Jakarta. Penerbit Alumni.
Thoha, Miftah. 1986. Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta. Penerbit Rajawali