Senin, 04 Mei 2009

UTS Rekayasa nilai ( Subkhi Lutfianto - 05110020 ; M.Afan rifai - 05110055 )

“JOB PLANT” DALAM REKAYASA NILAI
Rekayasa nilai adalah suatu metode untuk mengatasi penggunaan biaya yang tidak diperlukan. Suatu teknik yang telah diuji dapat dicari dengan pendekatan sistematik yaitu keseimbangan terbaik antara performansi dan biaya.
Pendekatan sistematik pada rekayasa nilai disebut dengan Rencana Kerja (Job Plan). Rencana kerja dari rekayasa nilai merupakan kerangka dimana teknik-teknik saling terkait satus ama lain. Keterkaitan ini dapat dikelompokan dalam beberapa tahap, dimana apada masing-masing tahap dapat diterapkan teknik-teknik yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Agar proses perencanaan rekayasa nilai lebih efisien maka suatu tahap dapat diulangi beberapa kali samapai didapatkan hasil yang diinginkan.
Pada dasarnya dari beberapa rencana kerja yang ada dalam pendektan dapat dikatakan hampir sama. Prosedur yang umum diapakai adalah standar rencana kerja 5 tahap yang terdiri dari :
1) Tahap informaasi (information phase)
2) Tahap kreatif (creative ohase)
3) Tahap penilaian / analisis (judgement phase)
4) Tahap pengembangan (development phase)
5) Tahap presentas ( recommendation phase)
Rencana kerja rekayasa nilai dimulai secara berurutan dari tahap informasi (1), kemudian tahap kreatif (2), tahap penenlitian (3), tahap pengembangan (4) dan tahap presentasi (5). Namun, dalam pelaksanaan, mungkin ada pada tahap penilaian (3), dibutuhkan data/ informasi baru, sehingga harus kembali ke tahap sebelumnya (1) atau (2)


____________________________________________________________________________________________________________________

TAHAP INFORMASI

Nama Proyek : Peningkatan Upaya Pendidikan Madrasah Ibtida’iyah Roudlotul Ulum
Pekerjaan : Pembangunan Ruang Sekolah

Luas Bangunan : 339 M2

Lokasi : Desa Kebonsari kecamatan Candi Sidoarjo

Anggaran : 2009

Tahap informasi merupakan tahap awal dalam rencan kerja rekayasa nilai yang dimaksudkan untuk memenuhi beberapa tujuan. Adapun tujuan – tujuan tersebut antara lain:
- mendapatkan basis informasi umum tentang suatu system atau proyek
- memperoleh pentabulasian data yang berkenaan dengan item pekerjaan
- menentukan item pekerjaan studi
- mendapatkan item pekerjaan yang akan dilakukan penggalian terhadap alternatif – alternatifnya pada tahap kreatif dan penganalisaan pada tahap analisa

PEMILIHAN ITEM PEKERJAAN
Pada pemilihan item pekerjaan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasikan item pekerjaan yang berbiaya tinggi dan memilih item pekerjaan tersebutuntuk item studi pada tahapan analisa selanjutnya. Pemilihan item pekerjaan dilakukan berdasarkan desain proyek dan data – data biaya dari rencana anggaran biaya. Pemilihan item pekerjaan dilakukan dengan dua langkah, yaitu:
- identifikasi biaya tinggi
- identifikasi biaya yang tidak diperlukan melalui analisa fungsi

IDENTIFIKASI BIAYA TINGGI
Identifikasi biaya tinggi dilakukan melalui tahap – tahap penyusunan bagan biaya, breakdown biaya dan analisa hukum pareto untuk memperoleh garis batas item berbiya tinggi. Penjelasan dari tahap – tahap tersebut adalah:
a. Bagan Biaya
Penelitian dari item biaya kerja dimulai dari pekerjaan arsitektur. Pekerjaan arsitektur dipilih karena memiliki biaya tertinggi dan prosentase 55,46% dari total biaya proyek.

Pemilihan item pekerjaan berbiaya tinggi
Bagan biaya
Total biaya proyek pada ruang radiologi sebesar Rp 536.561.791,03

_________________________________________________________________________________________________________________

Menentukan Breakdown Biaya

Tabel Breakdown Biaya Proyek


No Item Pekerjaan Biaya Biaya Kumulatif Prosentase Biaya (%) Prosentase kumulatif Biaya (%)
1 Arsitektur 297.574.006,42 297.574.006,42 55,46 55,46
2 Struktur 158.884.937,82 456.458.944,24 29,61 85,07
3 Pondasi 37.934.584.55 494.393.528,79 7,07 92,14
4 M & E 18.339.800,00 512.733.328,79 3,42 95,56
5 Tanah 13.682.872,71 526.416.201,50 2,55 98,11
6 Sanitasi 8.645.589,53 535.061.791,03 1,61 99,72
7 Persiapan 1.500.000,00 536.561.791,03 0,28 100,00
Total Biaya 536.561.791,03

__________________________________________________________________________________________________________________

TAHAP AKTIVITAS


Desain Original
No Komponen Pekerjaan Volume Pekerjaan Harga Satuan Total Harga
1 genteng 272,45 m2 58.727,00 16.000.171,15
2 bubugan genteng 38,00 m 60.272,70 2.290.362,60
3 nok bengkirai 0,29 m3 3.181.800,00 922.722,00
4 usuk 5/7 dan reng 3/4 bengkirai 272,45 m2 53.368,50 14.540.247,83
5 gording double kanal C150,75,20,3,2 5.226,25 kg 10.735,28 56.105.257,10
6 papan reuter jati 38,00 m 45.849,43 1.742.278,34
7 Lisplank bengkirai 97,70 m 37.986,70 3.711.300,59
8 topi - opti beton 24,70 m 22.700,00 560.690,00
95.873.029

________________________________________________________________________________________________________________

UTS MAKALAH Profesional skill ( M.Afan Rifai 05110055)

GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA
ERIKA REVIDA

BAB I
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, pemerintah sedang giat-giatnya mencanangkan produktivitas sebagai salah satu jurus pembangunan yang dikembangkan, untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara maju. Presiden Suharto dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1986 mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk melaksanakan gerakan nasional dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas di segala bidang. Sejak itu, secara perlahan-lahan telah tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat, terutama di kalangan pemerintah dan dunia usaha tentang pentingnya gerakan produktivitas nasional. Produktivitas nasional mencakup banyak hal, dimulai dari produktivitas tenaga kerja,
produktivitas organisasi, produktivitas modal, produktivitas pemasaran, produktivitas
produksi, produktivitas keuangan dan produktivitas produk. Pada tahap awal revolusi
industri di negara-negara Eropah, perhatian lebih banyak tertuju pada bidang produktivitas tenaga kerja, produktivitas produksi dan produktivitas pemasaran. Sedangkan di Negara Jepang, perhatian peningkatan produktivitas tertuju pada produktivitas tenaga kerja dan produktivitas organisasi, sehingga keharmonisan kepentingan buruh dan majikan dipelihara dengan baik. Riggs (dalam Prisma. 1986:5) menyatakan ada 3 tahapan penting yang perlu ditempuh untuk mensukseskan gerakan produktivitas, yaitu dengan ringkasan A-I-M (Awareness, Improvement, dan Maintanence).
Indonesia, pada saat ini masih pada tahap Awareness, belum mencapai Inprovement
dan Maintanance. Untuk sampai pada tahap Improvement dan Maintanance banyak cara yang ditempuh, diantaranya dengan meningkatkan produktivitas total, yang terdiri dari (a). Tingkat ekonomi makro; (b). Tingkat sektor lapangan usaha; (c). Tingkat unit organisasi secara individual dan; (d). Tingkat manusia secara individual.
Simanjuntak (1983) menyatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh faktor yang
bersumber dari individu itu sendiri, lingkungan sosial pekerjaan, dan faktor yang
berhubungan dengan kondisi pekerjaan.
Batu Bara (1989) menyatakan bahwa produktivitas itu dipengaruhi oleh motivasi dan
atos kerja, Keterampilan dan kualitas tenaga kerja, pengupahan dan jaminan sosial.
Berdasarkan kajian di atas, makalah ini ingin mengkaji bagaimana pengaruh manajemen, dalam hal ini gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pimpinan terhadap produktivitas tenaga kerja, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seperti yang dilontarkan oleh Simanjuntak (1983) bahwa salah satu masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini adalah rendahnya produktivitas kerja. Sehubungan dengan hal tersebut yang akan dikaji dalam makalah ini adalah “Gaya kepemimpinan yang bagaimanakah yang mendukung tingkat produktivitas kerja yang tinggi"?.
PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Adalah suatu kenyataan kehidupan organisasional bahwa pimpinan memainkan
peranan yang amat penting, bahkan dapat dikatakan amat menentukan dalam usaha
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pimpinan membutuhkan orang lain, yaitu bawahan untuk melaksanakan secara langsung tugas-tugas, di samping memerlukan sarana dan prasarana lainnya. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan usaha dan iklim yang kondusif di dalam kehidupan organisasional.
Agar tidak terjadi ambiquity, ada baiknya diberi batasan tentang kepemimpinan.
Bordil (dalam Sugandha, 1981) mendefenisikan bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok yang terorganisasikan dalam usaha-usaha
menentukan tujuan dan mencapainya.
Bennis (dalam Kartono, 1982) memberi batasan kepemimpinan sebagai “… the
process by which an agent induces a subordinate to behave in a desired manner" (proses yang digunakan seorang pejabat menggerakkan bawahannya untuk berlaku sesuai dengan cara yang diharapkan).
Dari defenisi di atas dapat dinyatakan bahwa kepemimplnan adalah merupakan
proses mempengaruhi atau menggerakkan bawahan (followers) agar mau melaksanakan apa yang diinginkan atau diharapkan oleh pimpinan tersebut. Oleh karena pentingnya peranan kepemimpinan di dalam kehidupan organisasional, ada pakar yang menyebut bahwa "Leadership is getting things done by the others".


Seorang pemimpin di dalam melaksanakan kepemimpinan haruslah memiliki kriteria-
kriteria yang diharapkan, dalam arti seorang pemimpin harus memiliki kriteria yang lebih dari pada bawahannya misalnya jujur, adil, bertanggung jawab, loyal, energik, dan beberapa kriteria-kriteria lainnya. Kepemimpinan merupakan sebuah hubungan yang kompleks, oleh karena berhadapan dengan kondisi-kondisi ekonomi, nilai-nilai sosial dan pertimbangan politis.
GAYA KEPEMIMPINAN
Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan (followers) agar mau melaksanakan tugas dan kewajibannya
sesuai dengan yang dihaapkan agar tercapai tujuan yang telah dltentukan sebelumnya.
Ada beberapa jenis gaya kepemimpinan yang di tawarkan oleh para pakar leardership, mulai dari yang klasik sampai kepada yang modern yaitu gaya kepemimpinan situasional model Hersey dan Blancard.
1. Gaya Kepemimpinan Kontinum
Gaya ini pertama sekali dikembangkan oleh Robert Tannenbaum dan warren
Schmidt. Menurut kedua ahli ini ada dua bidang pengaruh yang ekstrim, yaitu:
1). Bidang pengaruh pimpinan
2). Bidang pengaruh kebebasan bawahan.
Pada bidang pertama pemimpin lebih menggunakan otoritasnya, sedangkan pada bidang
ke dua lebih menekankan gaya demokratis.
2. Gaya Managerial Grid
Robert R Blake dan Jane S mouton mengidentifikasikan gaya kepemimpinan yang diterapkan di dalam manajemen yang disebut dengan gaya managerial grid. Sesungguhnya, gaya managerial grid lebih menekankan kepada pendekatan dua aspek yaitu aspek produksi di satu pihak, dan orang-orang di pihak lain. Blake dan Mouton menghendaki bagaimana perhatian pemimpin terhadap produksi dan bawahannya (followers). Dalam managerial grid, ada empat gaya yang ekstrim dan ada satu gaya yang
berada di tengah-tengah gaya ekstrim tersebut, seperti gambar di bawah ini.
Pada grid 1.1. manajer sedikit sekali memikirkan produksi yang harus dicapai.
sedangkan juga sedikit perhatian terhadap orang-orang (followers) di dalam organisasinya.
Dalam grid ini manajer hanya berfungsi sebagai perantara menyampaikan informasi dari
atasan kepada bawahannya.
Dalam grid 9.9. manajer mempunyai perhatian yang tinggi terhadap produksi yang
akan dicapai juga terhadap orang-orang yang bekerja dengannya. Manajer seperti ini dapat
dikatakan sebagai "manajer tim" yang riel (The real team manajer) karena ia mampu
menyatukan antara kebutuhan-kebutuhan produksi dan kebutuhan orang-orang secara
individu.
Grid 1.9 manajer memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap orang-orang
dalam organisasi, tetapi perhatian terhadap produksi adalah rendah. Manajer seperti ini
disebut sebagai "pemimpin club". Gaya seperti ini lebih mengutamakan bagaimana
menyenangkan hati bawahannya agar bawahannya dapat bekerja rileks, santai, bersahabat,
tetapi tidak ada seorangpun yang berusaha untuk mencapai produktlvitas.
Grid 9.1. adalah manajer yang menggunakan gaya kepemimpinan yang otokratis
(autrocratic task managers), karena manejer seperti ini lebih menekankan produksi yang
© 2004 Digitized by USU digital library
2Page 3

harus dicapai organisasinya, baik melalui efisiensi atau efektivitas pelaksanaan kerja, tetapi
tidak mempunyai atau sedikit mempuyai perhatian terhadap bawahan.
Grid yang memiliki perhatian yang medium baik terhadap produksi yang akan dicapai
maupun terhadap orang-orang adalah gris 5.5. Grid ini berusaha menyeimbangkan produksi
yang akan dicapai dengan perhatian terhadap orang-orang, dalam arti tidak terlalu
menyolok. Manajer seperti ini tidak terlalu menciptakan target produksi yang akan dicapai,
tetapi juga tidak mempunyai perhatian yang tidak terlalu menyolok kepada orang-orang.
3. Tiga Dimensi dari Reddin
William J Reddin, seorang Professor dan konsultan dari Kanada mengetengahkan
tiga dimensi gaya kepemimpinan dengan efektivitas dalam modalnya. Selain itu dia juga
menekankan pada dua hal yang mendasar yaitu hubungan pemimpin dengan tugas dan
hubungan kerja. Gaya kepemimpinan dari Reddin ini tidak terpengaruh kepada
lingkungan sakitarnya.
Menurut Reddin, ada jenis gaya yang barus diperhatikan yaitu gaya yang efektif
dan gaya yang tidak efektif.
Gaya yang efektif terdiri atas empat jenis, yaitu :
1). Eksekutif. Gaya ini mempunyai perhatian yang banyak terhadap tugas-tugas pekerjaan
dan hubungan kerja. Manajer seperti ini berfungsi sebagai motivator yang baik dan mau
menetapkan produktivitas yang tinggi.
2).Pencinta Pengembangan (Developer). Pada gaya ini lebih mempunyai perhatian yang
penuh terhadap hubungan kerja, sedangkan perhatian terhadap tugas-tugas pekerjaan
adalah minim.
3).Otokratis yang baik. Gaya kepemimpinan ini menekankan perhatian yang maksimum
terhadap pekerjaan (tugas-tugas) dan perhatian terhadap hubungan kerja yang minimum
sekali, tetapi tetap berusaha agar menjaga perasaan bawahannya.
Gaya yang tidak efektif adalah sebagai berikut :
1). Pencinta Kompromi (Compromiser).
Gaya Kompromi ini menitikberatkan perhatian kepada tugas dan hubungan kerja
berdasarkan situasi yang kompromi.
2). Missionari
Manajer seperti ini menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan, dalam arti
memberikan perhatian yang besar dan maksimum pada orang-orang dan hubungan
kerja tetapi sedikit perhatian terhadap tugas dan perilaku yang tidak sesuai.
3). Otokrat
Pemimpin tipe seperti ini memberikan perhatian yang banyak terhadap tugas dan
sedikit perhatian terhadap hubungan kerja dengan perilaku yang tidak sesuai.
4). Lari dari tugas (Deserter)
Manajer yang memiliki gaya kepemipinan seperti ini sama sekali tidak memberikan
perhatian, baik kepada tugas maupun hubung kerja.
4. Gaya Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpin situasional mencoba mengkombinasikan proses kepemimpinan
dengan situasi dan kondisi yang ada. Gaya ini diketengahkan oleh Hersey dan Blancard
yang amat menarik untuk dipelajari.
Menurut gaya kepemimpinan situasional, ada tiga hal yang saling berhubungan
yaitu:
a) Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan.
b) Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan.
c) Tingkat kematangan dan kesiapan para pengikut yang di tunjukkan dalam melaksanakan
tugas kasus, fungsi atau tujuan tertentu.
Pada dasarnya, konsepsi gaya kepemimpinan situasional menekankan kepada
perilaku pimpinan dengan bawahan (followers) saja, yang dihubungkan dengan tingkat
kematangan dan kesiapan bawahannya. Kematangan (maturity) dalam hal ini diartikan
sebagai kemauan dan kemampuan dari bawahan (followers) untuk bertanggung jawab
dalam mengarahkan perilaku sendiri.
Menurut Hersey dan Blancard penemunya (1979) ada empat jenis tingkat
kematangan bawahan (followers) yaitu :
a. Orang yang tidak mampu dan tidak mau atau tidak yakin (M1).
b. Orang yang tidak mampu tetapi mau (M2).
c. Orang yang mampu tetapi tidak mau atau kurang yakin (M3).
d. Orang yang mampu dan mau atau yakin (M4).
Untuk tingkat kematangan (maturity) orang yang mampu dan tidak mau (MI), gaya
kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Instruksi (G1)", karena pada tingkat kematangan
seperti ini sangat mengharapkan adanya pengarahan yang jelas disertai pengawasan yang
ketat. Pada gaya ini terdapat komunikasi arah (one way communications).
Bawahan yang berada pada tingkat kematangan tidak mampu akan tetapi mau
(yakin) (M2), maka gaya kepemimpinan yang lebih sesuai adalah gaya “Konsultasi (G2)”,
karena orang/bawahan yang tergolong seperti ini masih perlu pengarahan dan juga
mamberikan perilaku mendukung untuk memperkuat kemampuan dan antusias.
© 2004 Digitized by USU digital library
3Page 4

Gaya kepemimpinan “Partisipasi” adalah gaya yang sesuai untuk tingkat kematangan
Mampu akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab (M3)/tugas,
karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab
seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu
membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan mendukung usaha-usaha
yang dilakukan para bawahan/pengikutnya.
Selanjutnya, untuk tingkat kematangan yang mampu dan mau/yakin (M4), maka
gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Delegasi", karena orang/bawahan seperti ini
adalah mampu melaksanakan tugas dan mau/yakin. Dengan gaya delegasi ini pimpinan
sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau
melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan
sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, Kapan dan dimana pekerjaan mereka
harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.
PRODUKTIVITAS KERJA
Secara umum, produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun
fisik dengan masukan yang sebenarnya (ILO, 1979). Greenberg yang dikutip oleh Sinungan
(1985) mengartikan produktivitas sebagai perbandingan antara totalitas pengeluaran pada
waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ravianto (1995) yaitu produktivitas adalah
pendekatan muti disiplin yang secara efektif merumuskan tujuan dan pelaksanaan
(operasional) dengan menggunakan sumber daya secara efisien namun tetap menjaga
kualitas.
Dari penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa produktivitas adalah sikap
mental yang menganggap hari ini barus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih
baik dari hari ini. Cara-cara kerja hari ini harus lebih baik dari cara-cara kerja kemarin, dan
cara-cara kerja hari esok harus lebih baik dari cara-cara kerja hari ini, demikian seterusnya.
Ravianto (1995) membagi produktivitas menjadi produktivitas tenaga kerja,
produktivitas modal, produktivitas organisasi, produktivitas penjualan, produktivitas
produksi, dan produktivitas produk.
Dengan mengacu pada pengertian produktivitas yang dikemukakan para ahli di atas,
maka rumusan produktivitas kerja diajukan oleh Simanjuntak (1985) sebagai perbandingan
antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu. Karyawan
dinyatakan memiliki produktivitas kerja apabila dapat menghasilkan kerja lebih dari hasil
kerja yang telah dicapai sebelumnya. Sebaliknya karyawan yang memiliki produktivitas
yang rendah apabila hasil kerja yang diperolehnya menurun, atau lebih kecil atau sedikit
dari hasil kerja yang telah dicapai sebelumnya. Hasil kerja karyawan tersebut diukur dengan
mengadakan observasi yang didalamnya mencakup aspek kuantitas dan kualitas.
Dewan Produktivitas Nasional (dalam Ravianto, 1995) memberi batasan
produktivitas kerja sebagai kemampuan seseorang tenaga kerja atau sekelompok orang
untuk menghasilkan barang atau jasa.
Sinungan (1987) mendefenisikan produktivitas kerja mencakup sikap mental
patriotik yang memandang hari depan secara optimis dengan berakar pada keyakinan diri
bahwa kehidupan hari ini adalah lebih baik dari hasil kerja kemarin dan hari esok adalah
lebih baik dari hari ini.
Hasil penelitian Beri (dalam Kusriyanto, 1986) mengungkapkan ada empat faktor
penelitian terhadap produktivitas kerja yakni pelaksanaan kerja relatif baik, sikap kerja,
tingkat keahlian, disiplin kerja.
Produktivitas kerja karyawan tidak akan terlepas dari rangkaian berbagai faktor yang
mempengaruhinya, yaitu faktor yang terdapat pada diri manusia. Faktor yang terdapat
dalam diri manusia adalah keinginan tenaga kerja tersebut untuk meningkatkan kreativitas
kerjanya, sedangkan faktor yang terdapat di luar diri tenaga kerja adalah menyangkut
situasional baik berupa fisik maupun sosial. Faktor situasional umumnya berada dalam
kendali organisasi.
GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA
Gaya kepemimpinan, Secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh
yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan/pegawai. Hal ini didukung
oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang termasuk di
dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan produktivitas
kerja.
Dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya Kepemimpinan yang dapat
meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari yang paling klasik yaitu teori sifat
sampai kepada teori situasional.
Dari beberapa gaya yang di tawarkan para ahli di atas, maka gaya kepemimpinan
situasionallah yang paling baru dan sering di gunakan pemimpin saat ini. Gaya
kepemimpinan situasional dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok
untuk diterapkan saat ini. Hal ini didasarkan asumsi bahwa dengan gaya ini, setiap
© 2004 Digitized by USU digital library
4Page 5

bawahan/followers tidak dapat digeneralisasikan gaya yang akan diterapkan, akan tetapi
sangat tergantung kepada tingkat kematangan setiap bawahan yang secara alamiah
berbeda.
Untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan/bawahan sangat diperlukan
penelitian/kejelian yang mendalam dari seorang pemimpin dalam melihat tingkat
kematangan setiap bawahan/karyawannya. Hal ini diperlukan dalam rangka penerapan gaya
kepemimpinan apa yang harus diterapkan oleh pemimpin tersebut.
Menurut Gaya kepemimpinan situasional, ada empat kategori tingkat kematangan
bawahan yaitu M1 yang ditandai dengan bawahan/karyawan yang tergolong pada
kemampuan yang kurang/tidak mampu dan tidak mau. Dalam meningkatkan produktivitas
kerjanya, bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan M1, maka gaya yang
sesuai/cocok diterapkan adalah gaya G1 yaitu gaya "Instruksi (G1)", karena bawahan
seperti ini masih sangat memerlukan pengarahan dan dukungan, masih perlu bimbingan
dari atasan tentang bagaimana, kapan dan dimana mereka dapat melaksakanya tanggung
jawab/tugasnya.
Sedangkan lntuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan M2, yaitu
bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang sesuai
adalah gaya "Konsultasi (G2)", karena bawahan seperti ini masih penagarahan, karena
kurang mampu, juga
memberikan perilaku yang
mendukung. Dalam hal
ini
pimpinan/pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (two way communications), yaitu
untuk membantu bawahan dalam meningkatkan motivasi kerjanya.
Selanjutnya, bawahan yang tergolong pada M3 yaitu bawahan yang mampu tetapi
tidak mau melaksanakan tugas/tangung jawabnya. Untuk meningkatkan produktivitas
kerjanya gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya "Partisipasi (G3)", karena bawahan
seperti ini sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan, akan tetapi
kurang memiliki kemauan dalam melaksanakan tugas. Untuk meningkatkan produktivitas
kerjanya, dalam hal ini pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan
mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan.
Gaya "Delegasi (G4) adalah gaya yang cocok diterapkan pada bawahan yang
memiliki tingkat kematangan M4 yaitu bawahan yang memiliki kemauan juga kemampuan
dalam bekerja. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun
pengarahan, karena dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan dimana
mereka barus melaksanakan tugas/tangung jawabnya.
Dengan penerapan gaya kepemimpinan situasional ini, maka bawahan/pegawai
merasa diperhatikan oleh pemimpin, sehingga diharapkan produktivitas kerjanya akan
meningkat.
Dengan demikian sebenarnya, apa yang ditawarkan oleh para ahli tentang berbagai
gaya kepemimpinan seperti demokratis, otokratis, partisipatif dan sebagainya adalah
kurang cocok diterapkan sama untuk setiap bawahan, misalnya untuk tingkat kematangan
yang sudah relatif tinggi tidak sesuai diterapkan gaya otokratis dan sebagainya. Jadi dalam
upaya meningkatkan produktivitas kerja pegawai/bawahan perlu penerapan gaya
kepemimpinan yang situasional, Karena menurut gaya ini tidak ada satu gaya
kepemimpinan yang dapat diterapkan secara umum kepada setiap orang, akan tetapi
sangat tergantung pada tingkat kematangan bawahannya.
KESIMPULAN
Kepemimpinan adalah suatu proses
dimana pimpinan/pemimpin dapat
mempengaruhi bawahannya/orang lain, agar bawahan/orang lain tersebut mau melakukan
apa yang diinginkan oleh pimpinan/pemimpin tersebut.
Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan pimpinan/pemimpin dalam
mempengaruhi bawahan/orang lain, agar tercapai apa yang diinginkannya.
Produktivitas kerja adalah hasil kerja yang nyata diperoleh oleh tenaga kerja yang
didasari sikap mental yang patriotik yang menganggap bahwa hari ini harus lebih baik dari
hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Cara-cara kerja hari ini harus lebih
baik dari cara-cara kerja kemarin, dan cara-cara kerja hari esok harus lebih baik dari cara-
cara kerja hari ini.
Untuk meningkatkan Produktivitas kerja, gaya kepemimpinan situasional adalah
gaya yang paling sesuai diterapkan seorang pemimpin/pimpinan saat ini, mengingat bahwa
penerapan gaya ini disesuaikan dengan tingkat kematangan bawahan/pengikut. Hal ini
didasari asumsi bahwa setiap bawahan/orang lain akan memiliki tingkat kematangan yang
berbeda satu sama lain.
© 2004 Digitized by USU digital library
5Page 6

REFERENSI
Batu Bara, Cosmas. 1989. Kebijaksanaan peningkatan produktivitas nasional. Makalah.
Yogyakarta.
International Labour Office. 1982. Penelitian kerja dan produktivitas. Jakarta. penerbit
Erlangga.
Kartono, Kartini. 1982. Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta. Rajawali Press.
Kusriyanto, Bambang. 1986. Meningkatkan produktivitas karyawan. Jakarta. PT Binaman
Pressindo.
Ravianto, J. 1995. Motivation and Awareness. Makalah. Jakarta.
Sinungan, Muchdarsyah. 1987. Produktivitas apa dan bagaimana. Jakarta. PT Bina Aksara.
Simanjuntak, Payaman. 1985. Produktivitas kerja, Pengertian dan ruang lingkupnya.
Prisma. Jakarta. LP3ES.
Suganda, Dann. 1981. Kepemimpinan di dalam Organisasi dan manajemen. Bandung. CV
Sinar Baru.
Terry, George. 1983. Principle of management. Terjemahan. Jakarta. Penerbit Alumni.
Thoha, Miftah. 1986. Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta. Penerbit Rajawali