Rabu, 08 Juli 2009

SOP

TANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) DAN AKUNTABILITAS
KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
(Tjipto Atmoko)

Abstrak

Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan
tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah
berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata
kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP
adalah menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit kerja
instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance.

Standar operasional prosedur tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal,
karena SOP selain digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik yang berkaitan
dengan ketepatan program dan waktu, juga digunakan untuk menilai kinerja organisasi
publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah. Hasil kajian menunjukkan tidak semua satuan unit kerja instansi
pemerintah memiliki SOP, karena itu seharusnyalah setiap satuan unit kerja pelayanan
publik instansi pemerintah memiliki standar operasional prosedur sebagai acuan dalam
bertindak, agar akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dievaluasi dan terukur.

I. Pendahuluan
Pelayanan publik yang diberikan instansi Pemerintah (Pusat, Pemerintah
Propinsi, Kabupaten, Kota dan Kecamatan) kepada masyarakat merupakan perwujudan
fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Pada era otonomi daerah, fungsi
pelayanan publik menjadi salah satu fokus perhatian dalam peningkatan kinerja instansi
pemerintah daerah. Oleh karenanya secara otomatis berbagai fasilitas pelayanan publik
harus lebih didekatkan pada masyarakat, sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat.

Pemerintah Pusat mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan kinerja
instansi pemerintah dan kualitas pelayanan publik, antara lain kebijakan tentang
Penyusunan Sistem dan Prosedur Kegiatan, Penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (Inpres No. 7 Tahun 1999), dan Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah (SK Menpan No.
KEP/25/M.PAN/2/2004). Langkah ini sebenarnya bukanlah hal baru, karena sebelumnya
kebijakan serupa telah dikeluarkan pemerintah dalam bentuk Keputusan Menpan maupun
Instruksi Presiden (Inpres).

Kebijakan itu ternyata tidak secara otomatis menyelesaikan permasalahan
pelayanan publik oleh instansi pemerintah yang selama ini bercitra buruk, berbelit-belit,
lamban, dan berbiaya mahal. Hal tersebut berkaitan dengan persoalan seberapa jauh
berbagai peraturan pemerintah tersebut disosialisasikan di kalangan aparatur pemerintah
dan masyarakat, serta bagaimana infrastruktur pemerintahan, dana, sarana, teknologi,
kompetensi sumberdaya manusia (SDM), budaya kerja organisasi disiapkan untuk
menopang pelaksanaan berbagai peraturan tersebut, sehingga kinerja pelayanan publik
menjadi terukur dan dapat dievaluasi keberhasilannya.

Selain kebijakan pemerintah, upaya mewujudkan kinerja pelayanan publik di
lingkungan unit kerja pemerintahan yang terukur dan dapat dievaluasi keberhasilannya,
pemerintah daerah perlu memiliki dan menerapkan Prosedur Kerja yang standar (Standar
Operasional Prosedur / SOP). Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan
untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja
instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural
sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang
bersangkutan. Tujuan SOP adalah menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan
oleh satuan unit kerja instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance.

Standar operasional prosedur tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal,
karena SOP selain dapat digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, juga
dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi publik di mata masyarakat berupa
responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dengan
demikian SOP merupakan pedoman atau acuan untuk menilai pelaksanaan kinerja
instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan prosedural
sesuai dengan tata hubungan kerja dalam organisasi yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini berkaitan
dengan penilaian kinerja organisasi publik, Standar operasional prosedur (SOP) dan
langkah langkah menyusun SOP, serta peningkatkan akuntabilitas pelayanan publik
melalui penerapan SOP. Uraian berikut ini diharapkan dapat menciptakan komitment
pemerintah daerah mengenai pentingnya penerapan SOP oleh setiap satuan unit kerja
instansi pemerintahan dalam mewujudkan akuntabilitas pelayanan publik.

II. Penilaian Kinerja Organisasi Publik
Organisasi adalah jaringan tata kerja sama kelompok orang-orang secara teratur
dan kontinue untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan dan didalamnya
terdapat tata cara bekerjasama dan hubungan antara atasan dan bawahan. Organisasi tidak
hanya sekedar wadah tetapi juga terdapat pembagian kewenangan, siapa mengatur apa
dan kepada siapa harus bertanggung jawab (Gibson; 1996 :6). Organisasi dapat dilihat
dari dua sudut pandang yaitu pandangan obyektif dan pandangan subyektif. Dari sudut
pandang obyektif, organisasi berarti struktur, sedangkan berdasarkan pada pandangan
subyektif, organisasi berarti proses (Wayne Pace dan Faules, dalam Gibson, 1997 : 16).
Kaum obyektivis menekankan pada struktur, perencanaan, kontrol, dan tujuan serta
menempatkan faktor-faktor utama ini dalam suatu skema adaptasi organisasi, sedangkan
kaum subyektivis mendefinisikan organisasi sebagai perilaku pengorganisasian
(organizing behaviour).

Organisasi sebagai sistem sosial, mempunyai tujuan-tujuan kolektif tertentu yang
ingin dicapai (Muhadjir Darwin; 1994). Ciri pokok lainnya adalah adanya hubungan antar
pribadi yang terstruktur ke dalam pola hubungan yang jelas dengan pembagian fungsi
yang jelas, sehingga membentuk suatu sistem administrasi. Hubungan yang terstruktur
tersebut bersifat otoritatif, dalam arti bahwa masing-masing yang terlibat dalam pola
hubungan tersebut terikat pada pembagian kewenangan formal dengan aturan yang jelas.
Fremont Kast dan James Rosenzweig (2000) mengatakan bahwa organisasi merupakan
suatu subsistem dari lingkungan yang lebih luas dan berorientasi tujuan (orang-orang
dengan tujuan), termasuk subsistem teknik (orang-orang memahami pengetahuan, teknik,
peralatan dan fasilitas), subsistem struktural (orang-orang bekerja bersama pada aktivitas
yang bersatu padu), subsistem jiwa sosial (orang-orang dalam hubungan sosial), dan
dikoordinasikan oleh subsistem manajemen (perencanaan dan pengontrolan semua
kegiatan).

Kinerja atau juga disebut performance dapat didefinisikan sebagai pencapaian
hasil atau the degree of accomplishment. Sementara itu, Atmosudirdjo (1997)
mengatakan bahwa kinerja juga dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan
sesuatu. Faustino (1995) memberi batasan kinerja sebagai suatu cara mengukur
kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota organisasi kepada organisasinya.

Peter Jennergen (1993) mendefinisikan kinerja organisasi adalah tingkat yang
menunjukkan seberapa jauh pelaksanaan tugas dapat dijalankan secara aktual dan misi
organisasi tercapai. Selanjutnya Pamungkas (2000) menjelaskan bahwa kinerja adalah
penampilan cara-cara untuk menghasilkan suatu hasil yang diperoleh dengan aktivitas
yang dicapai dengan suatu unjuk kerja. Dengan demikian, kinerja adalah konsep utama
organisasi yang menunjukkan seberapa jauh tingkat kemampuan pelaksanaan tugas-tugas
organisasi dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan.

Penilaian terhadap kinerja dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan suatu
organisasi dalam kurun waktu tertentu. Penilaian tersebut dapat juga dijadikan input bagi
perbaikan atau peningkatan kinerja organisasi selanjutnya. Dalam institusi pemerintah
khususnya, penilaian kinerja sangat berguna untuk menilai kuantitas, kualitas, dan
efisiensi pelayanan, memotivasi para birokrat pelaksana, melakukan penyesuaian
anggaran, mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang
dilayani dan menuntun perbaikan dalam pelayanan publik.

Berbeda dengan organisasi privat, pengukuran kinerja organisasi publik sulit
dilakukan karena belum menemukan alat ukur kinerja yang sesuai. Kesulitan dalam
pengukuran kinerja organisasi publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi
publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi juga bersifat multidimensional.
Organisasi publik memiliki stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks
ketimbang organisasi privat. Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki
kepentingan yang berbenturan satu sama lain. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi
publik di mata para stakeholders juga berbeda-beda. Para pejabat birokrasi, misalnya,
seringkali menempatkan pencapaian target sebagai ukuran kinerja sementara masyarakat
pengguna jasa lebih suka menggunakan kualitas pelayanan sebagai ukuran kinerja.

Lenvine (1996) mengemukakan tiga konsep yang dapat digunakan untuk
mengukur kinerja organisasi publik, yakni :

1.
Responsivitas (responsiveness) : menggambarkan kemampuan organisasi publik
dalam menjalankan misi dan tujuannya terutama untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Penilaian responsivitas bersumber pada data organisasi dan masyarakat,
data organisasi dipakai untuk mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan dan program

organisasi, sedangkan data masyarakat pengguna jasa diperlukan untuk
mengidentifikasi demand dan kebutuhan masyarakat.

2.
Responsibilitas (responsibility): pelaksanaan kegiatan organisasi publik dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan
organisasi baik yang implisit atau eksplisit. Responsibilitas dapat dinilai dari analisis
terhadap dokumen dan laporan kegiatan organisasi. Penilaian dilakukan dengan
mencocokan pelaksanaan kegiatan dan program organisasi dengan prosedur
administrasi dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam organisasi.
3.
Akuntabilitas (accountability): menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Data
akuntabilitas dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti penilaian dari wakil
rakyat, para pejabat politis, dan oleh masyarakat.
Weisbord (1993) mengemukakan 6 indikator pengukuran kinerja organisasi
publik, yang meliputi tujuan, struktur, reward, mekanisme tata kerja, tata hubungan dan
kepemimpinan.

Tujuan berkaitan dengan arah yang hendak ditempuh organisasi, karena itu tujuan
organisasi harus direncanakan sebaik mungkin dengan melibatkan anggota organisasi,
mulai dari perumusan sampai pada pelaksanaan atau upaya pencapaiannya. Struktur
berkaitan dengan hubungan-hubungan logis antara berbagai fungsi dalam organisasi
termasuk juga semua kegiatan pembagian kerja ke dalam satuan-satuannya dan
koordinasi satuan-satuan tersebut. Struktur organisasi merupakan suatu kerangka yang
mewujudkan pola tetap dari hubungan-hubungan di antara bidang-bidang kerja maupun
orang-orang yang menunjukkan kedudukan, wewenang, dan tanggung jawab masingmasing
dalam suatu sistem kerjasama.

Mekanisme tata kerja adalah sesuatu yang terdiri atas bagian-bagian yang saling
berhubungan dan membentuk satuan tersebut. Mekanisme dapat mengacu pada barang,
aturan, organisasi, perilaku dan sebagainya. Mekanisme tata kerja akan sangat
bermanfaat bagi organisasi dalam hal membantu dalam koordinasi dan integrasi kerja,
dan membantu memonitor kerja organisasi, sehingga dapat diketahui apakah suatu
kegiatan dapat berjalan baik atau buruk. Unsur-unsur penting dalam mekanisme tata kerja
meliputi; prosedur kebijakan, agenda, pertemuan formal, aktivitas dan tersedianya sarana

atau alat yang mungkin ditemukan untuk membantu orang-orang untuk bekerja sama; dan
penemuan, kreativitas pegawai secara spontan untuk memecahkan permasalahan dalam
bekerja.

Penilaian kinerja aparatur pemerintah dapat dilakukan secara eksternal yaitu melalui
respon kepuasan masyarakat. Pemerintah menyusun alat ukur untuk mengukur kinerja
pelayanan publik secara eksternal melalui Keputusan Menpan No.
25/KEP/M.PAN/2/2004. Berdasarkan Keputusan Menpan No. 25/KEP/M.PAN/2/2004
tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan
Instansi Pemerintah, terdapat 14 indikator kriteria pengukuran kinerja organisasi sebagai
berikut:

1.
Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2.
Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan
untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3.
Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang
memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung
jawabnya).
4.
Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan, terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang
berlaku.
5.
Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung
jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6.
Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang
dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada
masyarakat.
7.
Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
8.
Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.

9.
Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling
menghargai dan menghormati.
10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya
biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan
biaya yang telah ditetapkan.
12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
13. Kenyamanan
lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang
bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada
penerima pelayanan.
14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyarakat
merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang
diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Berdasarkan pada uraian di atas, pengukuran kinerja organisasi publik dapat
dilakukan secara internal maupun eksternal. Penilaian secara internal adalah mengetahui
apakah proses pencapaian tujuan sudah sesuai dengan rencana bila dilihat dari proses dan
waktu, sedangkan penilaian ke luar (eksternal) dilakukan dengan mengukur kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan organisasi.

III. Standar Operasional Prosedur
Paradigma governance membawa pergeseran dalam pola hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip-prinsip
corporate governance. Penerapan prinsip corporate governance juga berimplikasi pada
perubahan manajemen pemerintahan menjadi lebih terstandarisasi, artinya ada sejumlah
kriteria standar yang harus dipatuhi instansi pemerintah dalam melaksanakan aktivitasaktivitasnya.
Standar kinerja ini sekaligus dapat untuk menilai kinerja instansi pemerintah
secara internal mupun eksternal. Standar internal yang bersifat prosedural inilah yang
disebut dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

Perumusan SOP menjadi relevan karena sebagai tolok ukur dalam menilai
efektivitas dan efisiensi kinerja instansi pemerintah dalam melaksanakan program
kerjanya. Secara konseptual prosedur diartikan sebagai langkah -langkah sejumlah
instruksi logis untuk menuju pada suatu proses yang dikehendaki. Proses yang
dikehendaki tersebut berupa pengguna-pengguna sistem proses kerja dalam bentuk
aktivitas, aliran data, dan aliran kerja. Prosedur operasional standar adalah proses standar
langkah -langkah sejumlah instruksi logis yang harus dilakukan berupa aktivitas, aliran
data, dan aliran kerja.

Dilihat dari fungsinya, SOP berfungsi membentuk sistem kerja & aliran kerja
yang teratur, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan; menggambarkan bagaimana
tujuan pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku;
menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan kegiatan berlangsung; sebagai sarana tata
urutan dari pelaksanaan dan pengadministrasian pekerjaan harian sebagaimana metode
yang ditetapkan; menjamin konsistensi dan proses kerja yang sistematik; dan menetapkan
hubungan timbal balik antar Satuan Kerja.

Secara umum, SOP merupakan gambaran langkah-langkah kerja (sistem,
mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk
mencapai tujuan instansi pemerintah. SOP sebagai suatu dokumen/instrumen memuat
tentang proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifat efektif dan efisisen berdasarkan
suatu standar yang sudah baku. Pengembangan instrumen manajemen tersebut
dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pelayanan di seluruh unit kerja
pemerintahan dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sebagai suatu instrumen manajemen, SOP berlandaskan pada sistem manajemen
kualitas (Quality Management System), yakni sekumpulan prosedur terdokumentasi dan
praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian
dari suatu proses dan produk (barang dan/atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan
tertentu. Sistem manajemen kualitas berfokus pada konsistensi dari proses kerja. Hal ini
mencakup beberapa tingkat dokumentasi terhadap standar-standar kerja. Sistem ini
berlandaskan pada pencegahan kesalahan, sehingga bersifat proaktif, bukan pada deteksi
kesalahan yang bersifat reaktif. Secara konseptual, SOP merupakan bentuk konkret dari
penerapan prinsip manajemen kualitas yang diaplikasikan untuk organisasi pemerintahan

(organisasi publik). Oleh karena itu, tidak semua prinsip-prinsip manajemen kualitas
dapat diterapkan dalam SOP karena sifat organisasi pemerintah berbeda dengan
organisasi privat.

Tahap penting dalam penyusunan Standar operasional prosedur adalah melakukan
analisis sistem dan prosedur kerja, analisis tugas, dan melakukan analisis prosedur kerja.

1. Analisis sistem dan prosedur kerja
Analisis sistem dan prosedur kerja adalah kegiatan mengidentifikasikan fungsifungsi
utama dalam suatu pekerjaan, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam
melaksanakan fungsi sistem dan prosedur kerja. Sistem adalah kesatuan unsur atau unit
yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi sedemikian rupa, sehingga muncul
dalam bentuk keseluruhan, bekerja, berfungsi atau bergerak secara harmonis yang
ditopang oleh sejumlah prosedur yang diperlukan, sedang prosedur merupakan urutan
kerja atau kegiatan yang terencana untuk menangani pekerjaan yang berulang dengan
cara seragam dan terpadu.

2. Analisis Tugas
Analisis tugas merupakan proses manajemen yang merupakan penelaahan yang
mendalam dan teratur terhadap suatu pekerjaan, karena itu analisa tugas diperlukan dalam
setiap perencanaan dan perbaikan organisasi. Analisa tugas diharapkan dapat
memberikan keterangan mengenai pekerjaan, sifat pekerjaan, syarat pejabat, dan
tanggung jawab pejabat. Di bidang manajemen dikenal sedikitnya 5 aspek yang berkaitan
langsung dengan analisis tugas yaitu :

a. Analisa tugas, merupakan penghimpunan informasi dengan sistematis dan
penetapan seluruh unsur yang tercakup dalam pelaksanaan tugas khusus.
b. Deskripsi tugas, merupakan garis besar data informasi yang dihimpun dari analisa
tugas, disajikan dalam bentuk terorganisasi yang mengidentifikasikan dan
menjelaskan isi tugas atau jabatan tertentu. Deskripsi tugas harus disusun
berdasarkan fungsi atau posisi, bukan individual; merupakan dokumen umum
apabila terdapat sejumlah personel memiliki fungsi yang sama; dan
mengidentifikasikan individual dan persyaratan kualifikasi untuk mereka serta
harus dipastikan bahwa mereka memahami dan menyetujui terhadap wewenang
dan tanggung jawab yang didefinisikan itu.

c.
Spesifikasi tugas berisi catatan-catatan terperinci mengenai kemampuan pekerja
untuk tugas spesifik
d.
Penilaian tugas, berupa prosedur penggolongan dan penentuan kualitas tugas
untuk menetapkan serangkaian nilai moneter untuk setiap tugas spesifik dalam
hubungannya dengan tugas lain
e.
Pengukuran kerja dan penentuan standar tugas merupakan prosedur penetapan
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap tugas dan menetapkan ukuran
yang dipergunakan untuk menghitung tingkat pelaksanaan pekerjaan.
Melalui analisa tugas ini tugas-tugas dapat dibakukan, sehingga dapat dibuat
pelaksanaan tugas yang baku. Setidaknya ada dua manfaat analisis tugas dalam
penyusunan standar operasional prosedur yaitu membuat penggolongan pekerjaan yang
direncanakan dan dilaksanakan serta menetapkan hubungan kerja dengan sistematis.

3. Analisis prosedur kerja
Analisis prosedur kerja adalah kegiatan untuk mengidentifikasi urutan langkahlangkah
pekerjaan yang berhubungan apa yang dilakukan, bagaimana hal tersebut
dilakukan, bilamana hal tersebut dilakukan, dimana hal tersebut dilakukan, dan siapa
yang melakukannya. Prosedur diperoleh dengan merencanakan terlebih dahulu
bermacam-macam langkah yang dianggap perlu untuk melaksanakan pekerjaan. Dengan
demikian prosedur kerja dapat dirumuskan sebagai serangkaian langkah pekerjaan yang
berhubungan, biasanya dilaksanakan oleh lebih dari satu orang, yang membentuk suatu
cara tertentu dan dianggap baik untuk melakukan suatu keseluruhan tahap yang penting.
Analisis terhadap prosedur kerja akan menghasilkan suatu diagram alur (flow chart) dari
aktivitas organisasi dan menentukan hal-hal kritis yang akan mempengaruhi keberhasilan
organisasi. Aktivitas-aktivitas kritis ini perlu didokumetasikan dalam bentuk prosedurprosedur
dan selanjutnya memastikan bahwa fungsi-fungsi dan aktivitas itu dikendalikan
oleh prosedur-prosedur kerja yang telah terstandarisasi.

Prosedur kerja merupakan salah satu komponen penting dalam pelaksanaan tujuan
organisasi sebab prosedur memberikan beberapa keuntungan antara lain memberikan
pengawasan yang lebih baik mengenai apa yang dilakukan dan bagaimana hal tersebut
dilakukan; mengakibatkan penghematan dalam biaya tetap dan biaya tambahan; dan

membuat koordinasi yang lebih baik di antara bagian-bagian yang berlainan. Dalam
menyusun suatu prosedur kerja, terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan yaitu :

1) Prosedur kerja harus sederhana sehingga mengurangi beban pengawasan;

2) Spesialisasi harus dipergunakan sebaik-baiknya;

3) Pencegahan penulisan, gerakan dan usaha yang tidak perlu;

4) Berusaha mendapatkan arus pekerjaan yang sebaik-baiknya;

5) Mencegah kekembaran (duplikasi) pekerjaan;

6) Harus ada pengecualian yang seminimun-minimunya terhadap peraturan;

7) Mencegah adanya pemeriksaan yang tidak perlu;
8) Prosedur harus fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kondisi yang berubah;

9) Pembagian tugas tepat;

10) Memberikan pengawasan yang terus menerus atas pekerjaan yang dilakukan;

11) Penggunaan urutan pelaksanaan pekerjaaan yang sebaik-baiknya;

12) Tiap pekerjaan yang diselesaikan harus memajukan pekerjaan dengan

memperhatikan tujuan;

13) Pekerjaan tata usaha harus diselenggarakan sampai yang minimum;

14) Menggunakan prinsip pengecualian dengan sebaik-baiknya

Hasil dari penyusunan prosedur kerja ini dapat ditulis dalam “buku pedoman organisasi”
atau “daftar tugas”yang memuat lima hal penting, yaitu :

1) Garis-garis besar organisasi (tugas-tugas tiap jabatan);

2) Sistem-sistem atau metode-metode yang berhubungan dengan pekerjaan;

3) Formulir-formulir yang dipergunakan dan bagaimana menggunakannya;

4) Tanggal dikeluarkannya dan di bawah kekuasaan siapa buku pedoman tersebut

diterbitkan;

5) Informasi tentang bagaimana menggunakan buku pedoman tersebut

Penyusunan Standar Operasional Prosedur terbagi dalam tiga proses kegiatan
utama yaitu Requirement discovery berupa teknik yang digunakan oleh sistem tersebut
untuk mengidentifikasi permasalahan sistem dan pemecahannya dari pengguna sistem;

Data modeling berupa teknik untuk mengorganisasikan dan mendokumentasikan sistem
data; dan Process modeling berupa teknik untuk mengorganisasikan dan
mendokumentasikan struktur dan data yang ada pada seluruh sistem proses atau logis,
kebijakan prosedur yang akan diimplementasikan dalam suatu proses sistem.

Dilihat dari ruang lingkupnya, penyusuan SOP dilakukan disetiap satuan unit kerja
dan menyajikan langkah-langkah serta prosedur yang spesifik berkenaan dengan
kekhasan tupoksi masing-masing satuan unit kerja yang meliputi penyusunan langkahlangkah,
tahapan, mekanisme maupun alur kegiatan. SOP kemudian menjadi alat untuk
meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan secara efektif dan efisien. Prinsip
dasar yang perlu diperhatikan dalam penyusunan SOP adalah :

1) Penyusunan SOP harus mengacu pada SOTK, TUPOKSI, serta alur dokumen;

2) Prosedur kerja menjadi tanggung jawab semua anggota organisasi;

3) Fungsi dan aktivitas dikendalikan oleh prosedur, sehingga perlu dikembangkan

diagram alur dari kegiatan organisasi;

4) SOP didasarkan atas kebijakan yang berlaku;

5) SOP dikoordinasikan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

kesalahan/penyimpangan;

6) SOP tidak terlalu rinci;

7) SOP dibuat sesederhana mungkin;
8) SOP tidak tumpang tindih, bertentangan atau duplikasi dengan prosedur lain;

9) SOP ditinjau ulang secara periodik dan dikembangkan sesuai kebutuhan.

Berdasarkan pada prinsip penyusunan SOP di atas, penyusunan SOP didasarkan
pada tipe satuan kerja, aliran aktivitas, dan aliran dokumen. Kinerja SOP diproksikan
dalam bentuk durasi waktu, baik dalam satuan jam, hari, atau minggu, dan bentuk
hirarkhi struktur organisasi yang berlaku. Proses penyusunan SOP dilakukan dengan
memperhatikan kedudukan, tupoksi, dan uraian tugas dari unit kerja yang bersangkutan.
Berdasarkan aspek-aspek tersebut SOP disusun dalam bentuk diagram alur (flow chart)
dengan menggunakan simbol-simbol yang menggambarkan urutan langkah kerja, aliran
dokumen, tahapan mekanisme, serta waktu kegiatan. Setiap satuan unit kerja memiliki
SOP sesuai dengan rincian tugas pokok dan fungsinya, karena itu setiap satuan unit kerja

memiliki lebih dari satu SOP. Bentuk SOP dituangkan dalam tiga Format (Form SOP 1,

SOP 2, dan SOP 3) seperti contoh berikut ini.

Contoh Form SOP 1.

Unit Kerja :
Fungsi :
Rincian Tugas :

Kode fungsi :

NO Kegiatan Kode Kegiatan Indikator Kunci
Keberhasilan
1 2 3 .
fl

Contoh Form SOP 2

Unit Kerja : ……………………………………
Fungsi : ……………………………………
Rincian Tugas : ……………………………………
Kegiatan : ……………………………………

Kode kegiatan: ………………

No. Uraian Unit Kerja/ Pelaksana Kegiatan
Kegiatan A B C D E F
1 2 3 4 5 6 7 8

Contoh Form SOP 3

Unit Kerja :
Fungsi :
Rician Tugas Unit :
Kegiatan :

Kode kegiatan: ………………..

Kepe Urutan A D E F
gawa
ian
Huku
m
Kegiatan B C

Pelaksanaan SOP dapat dimonitor secara internal maupun eksternal dan SOP
dievaluasi secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun dengan materi
evaluasi mencakup aspek efisiensi dan efektivitas SOP. Evaluasi dilakukan oleh Satuan
Kerja penyelenggara kegiatan (di lingkungan instansi Pemerintah), atau lembaga
independen yang diminta bantuannya oleh instansi Pemerintah. Pendekatan yang
digunakan untuk melakukan monitoring dan evaluasi menggunakan pendekatan
partisipatif.

Perubahan SOP (diganti atau penyesuaian) dapat dilakukan apabila terjadi
perubahan kebijakan Pemerintah atau SOP dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan masyarakat. Perubahan SOP dilakukan melalui proses penyusunan SOP
baru sesuai tata cara yang telah dikemukakan.

IV. Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah Melalui Penerapan SOP
Standar operasional prosedur (SOP) memuat informasi tentang jangka waktu
pelaksanaan kegiatan, pengguna layanan, hirarkhi struktur organisasi, serta langkahlangkah
kerja dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Pelaksanaan SOP dalam penyelengaraan

pemerintahan memiliki multifungsi baik sebagai alat deteksi potensi penyimpangan dari
tugas pokok dan fungsi; sebagai alat koreksi atas setiap penyimpangan yang terjadi;
sebagai alat evaluasi untuk meningkatkan kinerja setiap satuan kerja ke tingkat yang lebih
efektif, efisien, profesional, transparan dan handal. Kinerja satuan unit kerja yang efisien
merupakan syarat mutlak bagi pemerintah untuk mencapai tujuannya dan merupakan
salah satu alat terpenting dalam membawa instansi pemerintah dalam mewujudkan visi
dan misinya.

Evaluasi kinerja pada instansi pemerintah memiliki kekhususan tersendiri yang
membedakannya dengan evaluasi kinerja pada organisasi privat yang berorientasi
eksternal (pelayanan) dan dilandasi oleh motif mencari keuntungan. Pada unit-unit kerja
instansi pemerintah, standar penilaian kinerja yang sifatnya eksternal atau berhubungan
langsung dengan publik umumnya didasarkan pada indikator-indikator responsivitas,
responsibilitas, dan akuntabilitas. Sementara standar penilaian kinerja yang sifatnya
internal didasarkan pada SOP dan pengendalian program kerja dari instansi yang
bersangkutan. Kedua jenis standar ini (eksternal maupun internal) diarahkan untuk
menilai sejauhmana akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dicapai. Artinya,
standar eksternal maupun standar internal pada akhirnya akan bermuara pada penilaian
tercapainya masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (results), manfaat (benefits) dan
dampak (impacts) yang dikehendaki dari suatu program.

Pada prinsipnya, standar operasional prosedur lebih diorientasikan pada penilaian
kinerja internal kelembagaan, terutama dalam hal kejelasan proses kerja di lingkungan
organisasi termasuk kejelasan unit kerja yang bertanggungjawab, tercapainya kelancaran
kegiatan operasional dan terwujudnya koordinasi, fasilitasi dan pengendalian yang
meminimalisir tumpang tindih proses kegiatan di lingkungan sub-sub bagian dalam
organisasi yang bersangkutan. Standar operasional prosedur berbeda dengan
pengendalian program yang lebih diorientasikan pada penilaian pelaksanaan dan
pencapaian outcome dari suatu program/kegiatan. Namun keduanya saling berkaitan
karena standar operasional prosedur merupakan acuan bagi aparat dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya, termasuk dalam pelaksanaan program/kegiatan.

Standar Operasional Prosedur dapat digunakan untuk penilaian kinerja secara
eksternal, dan apabila pedoman yang sifatnya internal ini digabungkan dengan pedoman

eksternal (penilaian kinerja organisasi publik di mata masyarakat) berupa responsivitas,
responsibilitas, dan akuntabilitas, akan mengarah pada terwujudnya akuntabilitas kinerja
aparatur dan instansi pemerintah. Selama ini, penilaian akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah umumnya didasarkan pada standar eksternal, padahal sebagai bentuk
organisasi publik, instansi pemerintah memiliki karakteristik khusus yakni sifat birokratis
dalam internal organisasinya. Oleh karena itu, untuk menilai pelaksanaan mekanisme
kerja internal tersebut unit kerja pelayanan publik harus memiliki acuan untuk menilai
pelaksanaan kinerja instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis,
administratif dan prosedural sesuai dengan tata hubungan kerja dalam organisasi yang
bersangkutan dalam bentuk standar operasional prosedur.

Menyadari pentingnya SOP dalam penyenggaraan pemerintahan dan hasil kajian
menunjukkan tidak semua satuan unit kerja instansi pemerintah memiliki SOP,
pemerintah propinsi Jawa Barat dalam upaya meningkatkan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah menetapkan Surat Keputusan Gubernur No. 67 Tahun 2004 tentang pedoman
penyusunan SOP. Dengan dikeluarkannya SK Gubernur tersebut, pemerintah Propinsi
Jawa Barat mewajibkan kepada setiap satuan unit kerja dilingkungan pemerintah propinsi
Jawa Barat untuk menyusun SOP dan menerapkan di satuan unit kerjanya dengan
harapan melalui penerapan SOP ini akuntabilitas kinerja instansi pemerintah secara
internal maupun internal dapat terwujud. Seharusnyalah setiap satuan unit kerja
pelayanan publik instansi pemerintah memiliki standar operasional prosedur sebagai
acuan dalam bertindak, agar akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dievaluasi
dan terukur.

V. Penutup
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa standar operasional
prosedur sebagai alat penilaian kinerja berorientasi pada penilaian kinerja internal
kelembagaan, terutama dalam hal kejelasan proses kerja di lingkungan organisasi
termasuk kejelasan unit kerja yang bertanggungjawab, tercapainya kelancaran kegiatan
operasional dan terwujudnya koordinasi, fasilitasi dan pengendalian yang meminimalisir
tumpang tindih proses kegiatan di lingkungan sub-sub bagian dalam organisasi yang
bersangkutan. Standar operasional prosedur berbeda dengan pengendalian program yang

lebih diorientasikan pada penilaian pelaksanaan dan pencapaian outcome dari suatu
program/kegiatan. Namun keduanya saling berkaitan karena standar operasional prosedur
merupakan acuan bagi aparat dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya termasuk
dalam pelaksanaan kegiatan program.

Selama ini, penilaian akuntabilitas kinerja instansi pemerintah umumnya
didasarkan pada standar eksternal padahal sebagai bentuk organisasi publik, instansi
pemerintah memiliki karakteristik khusus yakni sifat birokratis dalam internal
organisasinya. Oleh karena itu apabila pedoman yang sifatnya internal ini jika
digabungkan dengan pedoman eksternal (penilaian kinerja organisasi publik di mata
masyarakat) berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas, maka akan mengarah
pada terwujudnya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Hasil kajian menunjukkan
tidak semua satuan unit kerja instansi pemerintah memiliki SOP, karena itu
seharusnyalah setiap satuan unit kerja pelayanan publik instansi pemerintah memiliki
standar operasional prosedur sebagai acuan dalam bertindak. Melalui penerapan SOP ini
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dievaluasi dan terukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar